Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Batas-Batas Toleransi Antar Umat Beragama

Drs. H Kasno Sudaryanto, M.Ag

Allah SWT membuat umat insan di muka bumi ini, diawali dengan seorang pria dan seorang perempuan. Dari sini lalu lahir banyak sekali umat insan yang berkelompok dalam banyak sekali suku dan bangsa. Itu semua ialah kodrat Allah, sunnatullah, dan menunjukkan pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Juga merupakan suatu ciptaan Allah yang bagi umat beriman mengandung suatu ujian, bagaimana menyikapi perbedaan dan menyikapi adanya banyak sekali suku dan bangsa khususnya dalam kontek bangsa Indonesia. 

Islam ialah agama yang sangat toleran. Rasulullah SAW telah memberi tumpuan bagaimana bersikap toleran dalam mengarungi kehidupan ini. Dalam kaitan yang berafiliasi dengan antar sesama insan yang berbeda suku, bangsa, bahkan berbeda agama. Karena itulah maka pada zaman Rasulullah SAW Islam dikenal agama yang sangat toleran dan agama yang dihargai oleh para ilmuwan yang tahu persis wacana Islam. Karena memang Allah SWT mengakibatkan Islam sebagai rahmat di alam ini. (QS Al Ambiya : 107) dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. 

Islam mengajarkan semoga kita menjamin keselarasan kehidupan dengan lingkungan, apalagi dengan sesama manusia. Toleransi yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW terhadap agama-agama lain sangat terang sebagaimana terungkap dalam sejarah. Pernah suatu dikala para pendeta dari agama Katolik tiba kepada Rasulullah SAW untuk mengetahui wacana agama Islam. Dalam beberapa hari mereka hidup bersama umat Islam. Pada suatu dikala sampailah mereka pada hari Ahad, hari dimana bagi orang Katolik ialah hari beribadah untuk mengagungkan Tuhannya. Rasulullah SAW memberi kesempatan seluas-luasnya untuk melaksanakan itu. Namun di lingkungan umat Islam itu tidak ada gereja untuk mereka gunakan melaksanakan ritual ibadah, maka problem menyerupai ini disampaikan kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW merelakan dan mempersilakan para pendeta itu untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya di masjid. 

Bukan hanya pada zaman Rasulullah saja terjadi menyerupai itu, pada zaman Umar ibn Khathab, yang di dalam sejarah Islam populer dengan zaman keemasan. Pada dikala itu, ditaklukkannya kerajaan Persia, kerajaan Romawi, sehingga Islam berkembang sangat pesat pada dikala itu. Bukan hanya meluas ke Timur, tetapi juga ke Barat. Di sana ditemukan beberapa umat yang berlainan agama. Kalau Umar pada dikala itu ingin berlaku semena-mena, maka tidak menunggu waktu lama, mereka dapat dikikis habis. Tetapi, Umar malah memberi penghormatan kepada mereka, dan melindungi mereka untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinan mereka, dengan catatan mereka tidak memusuhi, dan mengakibatkan Islam sebagai musuh untuk dihancurkan. Demikian juga yang terjadi pada kerajaan-kerajaan Islam yang lainnya. 

Itulah perilaku yang dicontohkan Rasulullah dan para sahabatnya. Persoalannya ialah ketika kita sebagai bangsa Indonesia, ada dua sisi yang menyikapi perbedaan agama, dengan perilaku yang sama-sama ekstrim. Di satu sisi, mereka melihat orang lain mengikuti agama kita, contohnya ketika hari Raya Idul Fitri, banyak orang lain yang mengikuti, dengan cara menghormati dengan mendatangi ke rumah-rumah. Mereka mengucapkan selamat merayakan Hari Raya Idul Fitri. Dalam kondisi yang menyerupai itulah, maka ada kebingungan di antara umat Islam, yang tidak faham betul wacana aqidah, maka beliau juga ingin melaksanakan hal yang sama, di dikala orang lain merayakan hari rayanya, beliau tiba ke tempatnya. Sisi lainnya, juga ada sebagian umat Islam, yang menganggap, bahwa saling menghormati dan saling menghargai suatu agama ialah hal yang wajar, bahkan mungkin sampai-sampai menganggapnya, semua agama datangnya dari Tuhan dan semua itu merupakan suatu kebenaran, maka semuanya ialah suatu kebenaran. Maka terjebaklah mereka dalam konsep pluralisme. Pluralisme dalam kontek aqidah tidak dibenarkan dalam Islam. Pluralisme sebagai aliran filsafat menganggap, bahwa semua agama benar, semua bentuk ubudiyah yang dilakukan masing-masing pemeluk agama ialah jalan yang menuju kepada titik yang sama. 

Sebagai umat Islam diajari dengan tegas mana hal yang terkait dengan aqidah, dan ubudiyah, dan mana yang terkait dengan duduk masalah social dan budaya. Terkait dengan aqidah Allah mengajarkan dengan tegas perilaku umat Islam dengan umat yang lainnya. Sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an surah Al Kaafiruun : 1-6 yang maknanya : 1. Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, 2. saya tidak akan menyembah apa yang kau sembah. 3. dan kau bukan penyembah Tuhan yang saya sembah.4. dan saya tidak pernah menjadi penyembah apa yang kau sembah, 5. dan kau tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang saya sembah. 6. untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." 

Sebagaimana ditegaskan pada ayat di atas, bahwa dalam memahami pluralitas kehidupan, kita harus melihat bahwa hubungan dengan umat lain ialah sebagai komunikasi sosial. Sesama umat insan boleh mendatangi umat lain ketika diundang dalam pernikahan. Dengan umat lain, kita boleh membantu ketika mereka membutuhkan derma sosial, bahkan sebagaimana dicontohlan Rasulullah SAW mereka dilindungi, dan dijamin keamanannya walaupun hidup dalam komunitas umat Islam. Inilah yang disebut dengan Islam rahmatan lilaalamiin. Ayat di atas ialah perilaku yang harus diambil umat Islam yang diajarkan Allah SWT, yang pada dikala itu dengan dalih toleransi Rasulullah SAW diminta oleh kaum Kafir Quraisy untuk sehari melaksanakan ibadah sesuai anutan Islam, dan sehari lalu menyembah sesembahan mereka. Tetapi, dengan tegas menolak itu dan surat Al Kafiruun itulah jawabannya. 

Karena itu, dalam kontek keyakinan, umat Islam harus tegas, tetapi dalam hal sosial, maka umat Islam harus toleran. Maka di sinilah batasan-batasan toleransi itu. Terkait dengan kemanusiaan, pemahaman boleh, bahkan mengajak mereka untuk berdialog untuk mencari titik temu, wacana mana yang boleh kita lakukan dan tidak. Maka ketika ada orang lain, mengajak untuk mengikuti ibadahnya, atau mereka mengikuti ibadah kita, kita juga harus tegas menolak dan melarangnnya. Makara tidak ada istilah basa-basi atau sungkan, dalam kaitannya dengan aqidah. Tetapi dalam bahasa sosial, kita harus dapat menjadi orang yang menghormati orang lain, melindungi orang lain, walaupun mereka berbeda keyakinan. Karena dengan perilaku menyerupai yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW inilah yang mengakibatkan Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia. Bahkan tidak hingga dua abad, Islam telah tersebar ke dua pertiga dunia. Hal ini disebabkan oleh ketegasan Rasulullah SAW dan lantaran perilaku toleransi Rasulullah SAW. 


Posting Komentar untuk "Batas-Batas Toleransi Antar Umat Beragama"