Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Profesi Pelacuran Dunia

Kajian perihal profesi pelacuran ini memang tidak ada habisnya untuk dibahas, tidak hanya di jaman kini profesi pelacuran ini menyeruak, menyerupai yg diceritakan di wikipedia sebenanya sejarah profesi pelacuran ini ialah profesi semenjak jaman dulu exist didunia dan hal tersebut dijelaskan setrik rinci disana. saya menyadur beberapa hal yg penting didalamnya untuk mempermudah sobat anehdidunia.com untuk menambah wawasan dan mendapat hal kasatmata yg terkait di dalamnya.

Para antropolog menggambarkan bahwa pelacuran merupakan fakta yg tak sanggup dielakkan, lantaran adanya pembagian kiprah pria dan perempuan yg sudah muncul pada masyarakat primitif. Tugas perempuan diarahkan untuk melayani kebutuhan seks laki-laki. Para antroplog melihat bahwa pelacuran tidak lepas dari peninggalan masyarakat primitif yg berpola matriarkhi. Sedangkan kaum feminis memandang bahwa pelacuran ialah akhir dari kuatnya sistem patriarkhi. Sementara kaum Marxis melihat pelacuran sebagai akhir yg pasti dari perkembangan kapitalisme.

Pelacuran Dalam Sejarah
Pelacuran dalam sejarahnya juga bersanding dekat dengan kepercayaan keagamaan. Ada istilah “pelacur kuil” (temple prostitutes). Pelacuran model ini ditemukan di pada kebudayaan zaman Babilonia, Mesir Kuna, Palestina Kuna, Yunani, dan Romawi. Para pelacur ini berkeliaran di jalan-jalan dan di kedai-kedai minuman, mencari mangsa laki-laki. Kemudian, penghasilannya diserahkan kepada para pendeta untuk membantu pembangunan kuil. (Ihsan; 2004:130)

Kedudukan pelacur memang naik turun, kata Ihsan selanjutnya (2004:130). Suatu masa, pelacuran ditempatkan tak lebih sebagai perbudakan. Mereka distempel sebagai masyarakat kelas bawah. Biasanya mereka lebih banyak beroperasi di jalan-jalan. Di Yunani, pelacur jalanan disebut pornoi. Masyarakat Yunani Kuna yg merupakan Keliru satu peradaban purba, jauh-jauh telah mengenal apa yg disebut “pelacuran kuil” –sebuah institusi purba tempat pera pelacur menyumbangkan uang hasil kerjanya untuk kuil Aphrodite demi mendapat berkah anugerah dari para dewi. Mereka disebut dengan nama Hierodouli. Kebiasaan-kebiasaan seksual pun telah bertumbuh setrik variatif. Mereka telah mempraktikkan gaya-gaya seks menyerupai vaginal, anal, kontak paha, oral, jilat-jilat klitoris, masturbasi, threesome, gaya 69, sadisme seks, pesta orgi, alat bantu (dildo), dan seks dengan binatang. Demikian juga praktik-praktik seks sesama jenis menyerupai lesbian dan gay yg dikenal dengan nama pederasta (Ihsan; 2004:14).


Di Romawi, pelacur dianggap penjahat dan pengganggu anak-anak. Di Roma, pelacur diharuskan Memakai pakaian tertentu untuk membedakan dengan perempuan kalangan bangsawan. Lebih ketat lagi, Asysyiria tetapkan pasal eksekusi bagi pelacur yg membuka tutup kepalanya sebagai trade mark-nya. Di India Kuna, pelacur rendahan ini disebut khumbhadasi. Pada masyarakat India Kuna, kaum perempuan dari golongan rendah hanya diberi dua pilihan, menikah atau menjadi pelacur. Sementara di Cina, pelacuran sudah mulai ditempatkan di rumah-rumah khusus. Pelacur yg berasal dari golongan rendah disebut wa she. Pada masa Dinasti Han, pelacur golongan ini dirumahkan gotong royong dengan kelompok penjahat, tahanan perang, dan budak. Demikian halnya pada masa-masa awal masyarakat Islam, munculnya harem juga tak sanggup dipisahkan dari pelacuran. Sudah mentradisi, orang-orang kaya biasa membeli ratusan budak perempuan untuk dijadikan harem. Walaupun pelacuran jelas-jelas tidak boleh dan pemerintah memiliki muhtasib, polisi susila, belakang layar para budak perempuan banyak yg dipekerjakan menjadi pelacur (Ihsan; 2004:131).

Pelacur tidak selamanya dipandang sebagai profesi rendahan
Dalam beberapa bangsa dahulu, pelacur justru menempati kedudukan terhormat. Pelacur terhormat ini memperlihatkan dampak yg mendalam terhadap politik, seni, sumber ide puisi, dan mode pakaian. Mereka tiba dari kelas atas dan menengah. Mereka menentukan profesi pelacur, lantaran waktu itu profesi ini menjadi satu-satunya jalan terbaik untuk meraih kekayaan dan gengsi sosial dalam masyarakat yg dikuasasi oleh kaum laki-laki. Mereka perempuan terdidik dan memiliki fungsi sosial yg besar, di Saat kaum perempuan dibatasi tinggal di rumah dan tidak diberi tempat dalam ruang publik.

Menurut Ihsan, (2004:132) pada zaman Babilonia, dikenal nama Kizrete yg disanjung-sanjung sebagai selir terhormat. Cerita-cerita rakyat mengisahkan pelacur terhormat ini juga mewarnai masyarakat Mesir Kuna. Tetapi, di antara bangsa-bangsa Kuna, hanya pada masa Yunanilah ratifikasi tertinggi disematkan bagi pelacur. Oleh masyarakat Yunani Kuna, mereka mendapat julukan hetaerae. Di antara hetaerae yg terkenal di masa itu, Thargelia dari Ionia, Aspasia dari Athena, Sang Pecinta dari Perikles, dan Thais dari Athena. Thais dari Athena ini pernah diperistri oleh Alexander Agung. Setelah itu diambil alih oleh Ptolomeus, raja Mesir Kuna, dan dinobatkan sebagai permaisuri.

Hetaerae juga muncul pada masyarakat Muslim zaman dahulu, kata Ihsan (2004:132-133). Mereka biasanya berperan sebagai penghibur dan kebanyakan berasal dari luar kawasan Muslim. Laki-laki yg ingin berafiliasi dengan hetaerae Musti melalui penghubung dan disewa untuk memperlihatkan pelayanan seksual. Puisi-puisi cinta yg beredar di Timur-Tengah waktu itu banyak yg dikumandangkan untuk menghormati hetaerae ini. Demikian juga bangsa-bangsa menyerupai India, Cina, dan Jepang juga mengenal penyanjungan terhadap profesi pelacur terhormat ini. Di Jepang terkenal dengan istilah geisha.

Pada masa masa pertengahan, hetaerae paling terkenal ialah Ratu Theodora yg mengubah larangan hak milik bagi pelacur serta membangun penampungan bagi pelacur yg ingin meninggalkan profesinya.Di Venesia, Italia, tercatat nama Veronica Franco yg juga berhasil membangun tempat penampungan bagi pelacur pada 1577 M (Ihsan; 2004:133).

Setrik historis, para pelacur berpindah bersama para tentara dan kelompok pekerja ke wilayah-wilayah di mana persediaan perempuan sangat terbatas. Di lokasi tersebut para pelacur melaksanakan pekerjaan-pekerjaan kerumahtanggaan, sekaligus membantu atrik seks laki-laki. Beberapa bukti menunjukkan, pada awal-awal berdirinya Amerika Serikat, para pelacur tiba dari masyarakat kelas bawah. Namun Saat ini, pelacur yg berasal dari kelas menengah maupun dari kelas atas sudah biasa. Sejarah ini menjadi karakteristik zaman Viktoria pada Saat perempuan ditempatkan dalam kategori sempit, baik atau buruk, dan pada Saat itu kaum pria Memakai double standard dalam seks akhir terlalu dominannya kiprah laki-laki. Dalam lingkup kultur yg lain, pelacur berasal dari semua kelas. Di antara mereka bahkan menempati kelas sosial yg relatif tinggi, menyerupai hetaerae dalam Yunani kuna, devadasis di India, dan geisha di Jepang. Meskipun ada pelacur yg ditempatkan dalam kelas yg demikian, pada umumnya mereka berasal dari kelas bawah (Schafer, S. et al.: 1975:43).

Menurut Schafer (1974:43), di Amerika Serikat, pelacuran tidak pernah diterima oleh masyarakat, demikian pula di negara-negara lain. Perlawanan terhadap pelacuran dilakukan setrik besar-besaran di AS sampai usai Perang Dunia I, untuk menghindari kekhawatiran wabah sekaligus memprotes perang. Namun perlawanan ini kemudian dioperasi dengan dilakukan penjagaan polisi, meski itu di luar aturan yg berlaku. Pada suatu waktu, Saat Wali Kota Chicago dijabat William Hale Thompson, para operator sekitar 2.000 bordil membayar polisi penjaga bordil 100 sampai 750 dolar AS perminggu. Bagaimanapun, dengan meningkatnya penyebaran wabah, investasi di rumah-rumah pelacuran semakin menurun.

Selama Perang Dunia II, sekitar 600.000 pelacur bersama jumlah yg sama dari perempuan yg siap menjadi pelacur setrik part timer diterjunkan. Lalu berapa jumlah pelacur di AS yg kini ini beroperasi, tidak diketahui. Bahkan seiring dengan iklim semakin bebasnya kekerabatan seks, dengan sendirinya kebutuhan pelacur menurun setrik tajam. Meskipun para pelacur setrik resmi tidak didukung pemerintah, angkatan bersenjata AS diajarkan gimana melindungi dan terbebas dari penyakit kelamin. Sebuah studi perihal penyakit kelamin di kalangan tentara AS di Eropa sehabis Perang Dunia II menguak, rumah pelacuran yg mendapat izin menjadi sumber penyebaran nanah GI, penyakit kelamin. Laporan lain mencatat bahwa 6% anggota tentara AS yg mengidap nanah VD, diakibatkan melaksanakan kekerabatan seks dengan pelacur profesional, 80% akhir berafiliasi dengan pelacur amatir, dan 14% lainnya disebabkan oleh istri-istrinya. Karena banyak sekali penyakit ini menimbulkan para tentara tidak sanggup maju ke medan tempur, para petugas kesehatan ketentaraan AS merekomendasikan melaksanakan operasi rumah-rumah pelacuran setrik kemiliteran sebagai belahan dari sistem operasi Post Exchange (PX) (Schafer, 1974:44).


Menurut Truong (1992:147), prostitusi semula merupakan subjek pinggiran. Pelacur bergerak ke kawasan sentra politik seksual internasional dengan bangkitnya gerakan menentang rumah-rumah bordil berlisensi dan “perdagangan budak kulit putih”. Pencabangan dari gerakan pemurnian sosial yg lahir di final masa XIX di Barat (Inggris, Viktorian, Belanda, Kerajaan Jerman, dan Amerika Serikat), gerakan menentang perbudakan kulit putih diformalkan di tahap global sebagai The International Agreement for the Suppression of the White Slave Traffic (Konvensi Internasional perihal Penghapusan Perdagangan Budak Kulit Putih) pada 1904, serta The International Convention for the Suppression of the White Slave Traffic (Konvensi Internasional perihal Penghapusan Perdagangan Budak Kulit Putih) pada 1910.

Gerakan ini mengerangkai info pelacuran dalam konteks kejahatan perdagangan, promiskuitas dan ketidakacuhan emosional (Chauvin, 1982). Pada mulanya gerakan tersebut menaruh keprihatinan terhadap para perempuan Barat yg diperdagangkan antara negara-negara Eropa Barat dengan Amerika Serikat, dan dari negara-negara ini ke wilayah-wilayah jajahan. Namun demikian, pengamatan terhadap situasi yg berlangsung di wilayah jajahan setrik tak terelakkan menimbulkan lahirnya toleransi terhadap pelacuran dan rumah bordil berlisensi dalam wilayah jajahan oleh pemerintah kolonial yg sedang mengalami serangan. (Truong; 1992:147-148)

Pada belahan lain, Truong mengemukakan, sebuah kajian lintas bentuk-bentuk intervansi negara dalam pelacuran terorganisasi di Asia Tenggara dan wilayah-wilayah lainnya memperlihatkan bahwa intervensi negara dalam reproduksi lahir Saat peningkatan mobilitas geografis insan (urbanisasi, migrasi, militerisasi, perdagangan) mendislokasikan hubungan-hubungan ikatan manusia. Hubungan-hubungan ini digantikan banyak sekali kekerabatan baru, yg membuat bentuk-bentuk gres kekerabatan seksual, hasrat dan signifikansi sosial yg diatur oleh aturan pasar. Sebagai alhasil sobat anehdidunia.com, keragaman wilayah tercipta melalui mana aspek-aspek sosial dan biologis reproduksi diorganisasikan, dengan berkaitan pada struktur kelas dan kadangkala etnik. Bergantung pada corak rumah tangga, komunitas dan negara, tugas-tugas biologis sanggup bersifat integral atau terpisah dari tugas-tugas sosial reproduksi (Truong; 1992:340-341).

Dalam kasus Muangthai, (Truong: 1992:246), ditemukan bahwa di luar citra umum turisme, terdapat sejumlah faktor embel-embel yg berperan dalam peleburan sistematis pelayanan seksual ke dalam jasa turisme. Ini meliputi abjad kekerabatan gender yg berakar dalam agama dan struktur kelas serta situasi geo-politik spesifik Asia Tenggara pada periode 1960-an. Penghukuman legal terhadap pelacur hadir hampir-hampir serentak dengan formalisasi legal industri hiburan, akhir kebijakan investasi yg ditujukan untuk menangkap pasar “rest and recreation” semasa konflik Indocina. Dualitas antara ratifikasi dan pengingkaran terhadap pelacuran, digandakan dengan kedatangan masif tentara tentara AS, berakibat pada menjamurnya bermacam-macam bentuk pelacuran tersamar di dalam industri hiburan. Praktik-praktik ad hoc penyediaan pelacuran perlahan-lahan menjadi sistematis sebagai hasil dari tingginya tingkat akumulasi modal.

Basis industri dan contoh ketenagakerjaan yg diciptakan semasa periode ini mendapat pukulan jago Saat tentara AS menarik diri dari Indocina. Lebih jauh lagi, imbas turisme Rest and Recreation terhadap anggaran pembelanjaan ialah sangat substansial sehingga Saat pasar ini menyurut, alternatif Musti segera ditemukan untuk mempertahankan pengoperasian infrastruktur turisme dalam rangka mengejar pengembalian modal dan keuntunga. (Truong, 1992:346).

Kombinasi dari banyak sekali kepentingan bersama ini mendorong perusahaan-perusahaan untuk meleburkan banyak sekali pelayanan seksual ke dalam proses produksi yg sangat terorganisasi dengan bermacam-macam titik distribusi pada tingkat internasional. yg paling penting di antaranya ialah tumbuhnya turisme seks kolektif melalui biro penyelenggara tur yg dibeli oleh individu, kelompok, atau perusahaan transnasional sebagai bonus embel-embel bagi karyawannya. Ini memperlihatkan bahwa terdapat proses berkelanjutan akumulasi modal eksklusif dalam wilayah reproduksi (pemeliharaan dan pembaharuan kapasitas bekerja manusia) pada skala luas. Dalam kaitan ini, ialah relevan untuk memperlihatkan bahwa bentuk paling kental dari jasa reproduksi di bawah kekerabatan komersial, yakni tur paket seks, mencerminkan sebuah pertentangan dalam internasionalisasi pembangunan kapitalis. Adalah melalui proses pembangunan kapitalis hubungan-hubungan kekerabatan diberaikan dan selanjutnya jasa-jasa reproduktif difragmentasikan dan dileburkan ke dalam kekerabatan pasar. Melalui pembangunan kapitalis pula reintegrasi jasa-jasa reproduksi sanggup berlangsung sepenuhnya di bawah kekerabatan pasar.

Semoga Maknakel menarik perihal sejarah profesi pelacuran dunia ini menambah wawasan anda sobat anehdidunia.com serta berkhasiat bagi anda. tetap saya tekankan supaya selalu Memakai budi anda dalam membaca Maknakel Maknakel dari saya. Gudday


referensi:http://en.wikipedia.org/wiki/History_of_prostitution/http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/08/24/sekilas-tentang-sejarah-pelacuran-dunia/http://www.kaskus.co.id/thread/516c62d28127cf531b00000b/sejarah-pelacuran-dunia-profesi-paling-kuno-dan-tertua-di-dunia

Posting Komentar untuk "Sejarah Profesi Pelacuran Dunia"