Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Renungan

Merenung. 

Untuk perjalanan rohani seseorang (untuk berjalan menuju hadrat Allah), tidak akan pernah cukup hanya dengan mengandalkan sebuah pedoman saja, dan tidak akan pernah tepat tanpa adanya perenungan, pedoman ialah produk dari kebijaksanaan sedangkan renungan itu produk dari pada hati, untuk lebih jelasnya pedoman itu pekerjaan kebijaksanaan dan perenungan itu ialah pekerjaan hati (merenung itu untuk menyatukan kebijaksanaan dengan hati). 

Begitu juga apa yang didapat dari pedoman dan perenungan itu juga sangat berbeda, yang didapat di dalam sebuah pedoman ialah ilmu yang sifatnya dunia saja (yang masuk dalam logika), sedangkan yang didapat dari sebuah perenungan itu sifatnya mirip ilham, atau ilmu laduni (kehendak Allah yang masuk ke dalam hati), segala bentuk inspirasi itu tidak berasal dari kebijaksanaan pikiran dan kebijaksanaan maanusia, akan tetapi pribadi dari Allah yang pribadi masuk ke dalam hati seseorang. 

Karena jikalau berpikir itu berangkat dari kebijaksanaan pikiran kita yang terpusat kepada sesuatu yang kita pikirkan, hingga pikiranya mencari tanggapan dari sebuah pertanyaan yang muncul dalam pikiran, kepada sesuatu yang menjadi obyek pikiran, hingga pada karenanya ia menemukan ilmu dan pesan yang tersirat yang dimaksud. Sedangkan perenungan itu berangkat dari kebijaksanaan pikir dan hati kita yang terpusat kepada Allah, menyatukan hati dan pikiran menjadi satu atau memusatkan pikiran dan hati kepada keagungan Allah, hingga rasa kita terlarut dalam rasa (rahasia) Allah. 

Suatu misal, disaat kita sedang menikmati keindahan bulan purnama yang dihiasi dengan indahnya bintang-bintang, kebijaksanaan pikiran kita memuji dan mengagumi keindahan bulan purnama dengan segala hiasanya, jikalau rasa memuji dan mengagumi itu hanya berhenti pada keindahan bulan dengan segala hiasanya, maka inilah yang disebut berpikir dan yang kita dapati hanya rasa kagum dan rasa tahjud saja. 

Tatapi jikalau rasa kagum dan memuji itu pribadi kita tujukan kepada Allah, tidak berhenti kepada keindahan bulan purnamanya saja, maka kita akan mendapat inspirasi atau ilmu dari Allah yang masuk kedalam hati kita. Ilham atau ilmu wacana keagungan dan keindahan Allah dengan segala ciptaan-Nya, bila dibukakan pintu keagungan dan keindahan Allah, maka hati kita akan terasa tentram, teduh, damai dan lapang serta senang melihat kebesaran Allah yang kasatmata di dalam setiap ciptaan-Nya. 

Saudaraku terkasih, jadi yang disebut ilmu tauhid itu bukan yang kita dapatkan dari membaca buku dan kitab, juga bukan yang kita dapatkan dari mendengarkan ceramah dari seorang guru, tapi yang kita dapatkan dari olah pikir dan perenungan diri, hingga kita mendapat inspirasi dari Allah, berupa ilmu dan pemahaman yang belum pernah terungkap dan kita temui sebelumnya. 

Para ulama’ tasawuf juga sudah sering menyebutkan bahwa,” Berdzikir itu ialah menyebut Allah, merenung itu berbicara dengan Allah, membisu itu bertemu dan bertatap muka dengan Allah, fana itu selalu bersama dengan Allah dan baqa’ itu abadi bersama Allah”. Banyak sekali diantara umat Islam di negeri ini, yang begitu menguasai kitab-kitab tasawuf yang klasik maupun yang moderen, tetapi ilmu tersebut hanya dipergunakan untuk berdebatan saja, hanya untuk pembenaran diri sendiri, mereka hanya mempergunakan ilmunya untuk mencari lawan debat, tanpa ada tindakan dan laris di dalamnya.

Pada karenanya mereka pada umumnya hanya menilai bahwa hanya ilmu tasawuf saja yang benar, sedang ilmu Syariat dan Tariqah ialah ilmu yang sia-sia belaka. Setelah pemahaman dan pendapat itu ia yakini, selanjutnya mereka meninggalkan Syariat dan Tariqahnya, ini yang harusnya menjadi perhatian kita semua. Dan salah satu bentuk perhatian itu, maka kami beranikan diri untuk menyebarkan dan saling mengisi dengan kami terbitkanya buku ini, impian kami buku ini sanggup memperlihatkan warna dalam pengembangan ilmu tasawuf di negeri ini. 

Sekali lagi, ilmu dan pemahaman tasawuf yang hanya kita sanggup dari membaca dan mendengar ceramah dari seorang guru, itu bukan ilmu yang sesungguhnya. Setiap ilmu tasawuf yang kita sanggup dari membaca dan mendengar ceramah dari seorang guru, bila tanpa kita praktekan dengan perilaku dan perbuatan melalui perenungan dan perenungan, sambil selalu berusaha membersihkan hati dari segala penyakit hati (Baca juga buku,”Di Dalam Diri Ada Allah, Kesadaran Insani Menuju Kesadaran Ilahi), maka segala ilmu tasawuf yang kita pelajari akan terasa hampa tiada rasa, menyerupai badan tanpa nyawa dan gula tanpa manisnya. 

Sekali lagi bahwa sebenarnya Syariat, Tariqah, Hakikat dan Makrifat itu ialah merupakan wujud dari sebuah satu kesatuan, yang saling melengkapi dan saling menyempurnakan. Syariat tidak sanggup bangun tanpa adanya Tariqah, Syariat hanya sekedar syarat dan rukun saja dan hanya akan menjadi materi perdebatan semata, bila kita tidak pernah menjalankanya. 

Dan bagi yang telah mengetahui Syariat dan menjalankanya (Syariat yang sudah bertariqah), akan menjadi tanpa kepercayaan jikalau tidak disertai Hakikat di dalamnya, Hakikat ialah kesadaran diri dengan kepercayaan dan keyakinan, bahwa ia sanggup melaksanakan dan menjalankan (bertariqah) itu semata-mata atas hidayah atau kekuatan Allah, bukan kekuatan diri sendiri. Dan begitu juga dengan Syariat, Tariqah dan Hakikat yang telah kita lakukan itu tidak akan pernah tepat keyakinan kita bila tanpa mencicipi kekuatan Allah dalam setiap apa yang kita lakukan, alasannya ialah yang disebut mencicipi itulah yang dinamakan Makrifat (mengenal Allah) di dalam setiap amal ibadah dan amal perbuatan kita. 

Keluarga Berkah Penuh Cinta

Posting Komentar untuk "Renungan"