Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Amalan Aji Bayu Bajra



“Pamuji rahayu.., monggo Ki dipun lanjut ilmunipun … kulo suwun upami mboten awrat penggalih, dipun wedar ngilmu aji maruta…, supaya saya kalu bepergian jauh ndak usah naik kendaraan Ki.. ngirit ongkos hehehe…maklum bensin mahal, aftur juga mahal…,naik piet onthel ga tekan tekan je….hehehe..kesuwen. nyuwun jembaring penggalih pangapunten.matur sembah nuwun. salam sihkatresnan, Rahayu… (Ki Hadi Wirojati).

Sekitar tahun 80-an di daerah selatan gunung Semeru, perbatasan Kabupaten Lumajang-Malang, Jatim di hutan lindung yang lebat masih banyak menjumpai orang-orang yang mempunyai ilmu Aji Bayu Bajra. Mereka pating gleber menyerupai burung. Hinggap (Menclok) dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Persis menyerupai di film-film silat. Yang membedakan yakni ketika kita dekati, mereka akan menjauh dan sama sekali tidak ingin identitasnya diungkap.

Suatu ketika dalam sebuah maneges, saya menjumpai seseorang pemilik ajian bayu bajra di wilayah itu. Duduk bersila di sebuah kerikil besar di tengah sungai mengalir gemericik. Saya mencoba menyapanya dengan salam. Dia tidak menjawab. Baru ketika saya mencoba untuk memakai bahasa badan yang artinya bahwa saya ingin bercakap-cakap dengannya, maka beliau jadinya memberi isyarat. Jari telunjuknya ditempatkan di depan mulut. Matanya memandang santun dan lembut mata saya. Sebuah sorotan yang sejuk namun tegas dan berdaya.

Batin saya pribadi membaca ini orang waskita yang tidak sembarangan: beliau sedang maneges kepada Gusti. Belum sempat saya meneruskan komunikasi dengan bahasa badan yang lain, beliau pribadi meloncat ke sebuah pohon yang rimbun dan meneruskan melompat ke pohon yang lain. Hingga jadinya hanya gerakan-gerakan dedaunannya saja yang terlihat. Orang waskita itu pun menghilang.

Saya hanya berujar: Selamat jalan, hamba Gusti Allah yang waskita ….

Orang yang bisa terbang atau meloncat dari dahan yang satu ke dahan yang lain ini bagi para leluhur tanah Jawa yakni soal yang mudah. Gaya hidup keseharian para leluhur yang bersahabat bahkan menyatu dengan alam menciptakan mereka bisa menemukan ilmu-ilmu/ajian-ajian yang beraneka rupa. Hobi para leluhur yang gentur olah rasa/batin, memakai ilmu titen untuk membaca fenomena alam dan gemar mempersatukan diri dengan semua jenis kekuatan (fisik dan metafisik) menciptakan mereka digdaya.

Para leluhur tidak perlu membeli handphone dan SMS untuk menghubungi para sedulurnya. Mereka juga tidak bisa memakai email atau facebook untuk saling curhat. Dari keterpisahan jarak dan waktu, mereka memakai kemampuan intuisi untuk saling berkomunikasi (orang kini menyebut telepati). Namun, bila dirasa sangat urgen untuk bertemu dengan sedulurnya, mereka akan berjalan kaki atau memakai kuda sebagai alat transportasi. Segelintir leluhur lain yang waskita akan memakai ajian Sapu Jagad dan Bayu Bajra untuk bepergian jarak jauh.

Aji Bayu Bajra mensyaratkan biar penggunanya sudah mempunyai kedewasaan mental spiritual. Ia haruslah orang yang sudah “berumur” dan tidak ingin menonjolkan diri lagi di depan publik. Dia sepi ing pamrih rame ing gawe. Tubuh fisiknya bisa seringan kapas alasannya yakni beliau tidak lagi diliputi nafsu keduniawian sedikitpun sehingga yang ada dalam hidupnya hanyalah menunggu titah-Nya saja. Jiwa yang masih “berat” condong ke dunia, tidak mungkin mempunyai ilmu ini dengan seempurna.

Para pemilik ilmu ajian ini yakni orang yang sangat pendiam. ‘Tapa meneng’ dan hanya boleh berbicara bila sangat terpaksa. Satu dua kalimat pun harus diucapkan dengan bijaksana. Yakni untuk memberikan ajaran-ajaran kebajikan yang menjadi tanggungjawab besarnya di dunia. Laku prihatin dan hidupnya harus bisa diteladani oleh orang yang pernah melihat beliau walau hanya sekelebat.

Matra untuk matek ajian Bayu Bajra diingatnya di luar kepala. Itu mencerminkan jiwanya yang bebas menyerupai burung….

“Putune Bayu Bajra yo aku
Sing nduwe angkoso, Nduwe langit
Nduwe awang-awang
Aku mabur koyo manuk
Kemlebat koyo alap-alap
Mabur koyo bidho kang ora nate kesel
Mabur……burrr!!!!!!!!!!!
Maburku luwih banter tinimbang angen-angen..”

Itulah mantra yang dibaca oleh hamba Gusti Allah yang pernah saya jumpai di daerah selatan gunung Semeru yang kini entah ada di mana.



Posting Komentar untuk "Amalan Aji Bayu Bajra"