Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Walisongo Sejarah Lengkap


Dulu, ketika masih kanak-kanak, saya mengenal dongeng tokoh WALISONGO dari guru mengaji di kampung. Walisongo dikenal sebagai 9 orang wali yang membuatkan fatwa Islam di Jawa. Setelah membaca beberapa buku sejarah Walisongo, ternyata apa yang saya ketahui ihwal Walisongo pada ketika masih kanak-kanak itu bekerjsama bukanlah 9 orang Wali kharismatik yang membuatkan Islam di tanah Jawa, tetapi pengertian Walisongo yang bekerjsama ialah Dewan Dakwah atau Dewan Mubaligh yang berjulukan Walisongo, di dalamnya tergabung 9 para ulama kharismatik yang berdakwah di seluruh pelosok pulau Jawa.

Untuk lebih mengenal Dewan Dakwah Walisongo ini, saya sajikan sejarahnya yang terdapat dalam salah satu buku Kisah Walisongo. Dan kali ini saya sajikan Kisah Walisongo yang ditulis oleh: Abu Khalid, MA. Untuk kisah dan pengalaman masing-masing wali yang dikenal masyarakat luas akan saya sajikan terpisah. Dalam kisah dan pengalaman Walisongo yang ditulis oleh para sejarawan itu melukiskan aneka macam karomah yang diberikan Allah swt kepada mereka. Bagi sebagian orang -jangankan karomah- mukjizat yang diberikan Allah swt kepada Nabi-nabiNYA terkadang dianggap sebagai dongeng bohong belaka, walaupun telah terperinci tertulis dalam kitab suciNYA. Oleh karena itu, membaca kisah Walisongo dengan aneka macam karomahnya tentu bukan hal yang paling utama untuk diambil sebagai pelajaran. Menurut hemat saya, mengenali semangat, upaya, keikhlasan, serta ketaatannya kepada Sang Khalik dalam membuatkan ajaranNYA itulah yang lebih penting untuk kita ketahui dan teladani.

Seperti yang tertulis dalam buku Kisah Walisongo tersebut, umumnya kita mengenal Walisongo hanyalah sembilan orang yaitu: Syekh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan GunungJati

Seperti tersebut dalam Kitab Kanzul Ulul Ibnul Bathuthah yang penulisnya dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al Maghrobi, Walisongo melaksanakan sidang tiga kali, yaitu:

Tahun 1404 M ialah sembilan wali.
Tahun 1436 M masuk tiga wali mengganti yang wafat.
Tahun 1463 M masuk empat wali mengganti yang wafat dan pergi.

Menurut KH Dachlan Abd. Qohar, pada tahun 1466 M, Walisongo melaksanakan sidang lagi membahas aneka macam hal. Diantaranya ialah kasus Syekh Siti Jenar, meninggalnya dua orang wali yaitu Maulana Muhammad Al Maghrobi dan Maulana Ahmad Jumadil Kubro serta masuknya dua orang wali menjadi anggota Walisongo.

1. Walisongo Periode Pertama
Pada waktu Sultan Muhammad 1 memerintah kerajaan Turki, dia menanyakan perkembangan agama Islam kepada para pedagang dari Gujarat. Dari mereka Sultan mendapat kabar isu bahwa di Pulau Jawa ada dua kerajaan Hindu yaitu Majapahit dan Pajajaran. Di antara rakyatnya ada yang beragama Islam tapi hanya terbatas pada keluarga pedagang Gujarat yang kawin dengan para penduduk pribumi yaitu di kota-kota pelabuhan.

Sang Sultan kemudian mengirim surat kepada pembesar Islam di Afrika Utara dan Timur Tengah. Isinya meminta para ulama yang mempunyai karomah untuk dikirim ke pulau Jawa. Maka terkumpullah sembilan ulama berilmu tinggi serta mempunyai karomah.

Pada tahun 808 Hijrah atau 1404 Masehi para ulama itu berangkat ke Pulau Jawa. Mereka adalah:
Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki andal mengatur negara. Berdakwah di Jawa penggalan timur. Wafat di Gresik pada tahun 1419 M. Makamnya terletak satu kilometer dari sebelah utara pabrik Semen Gresik.
Maulana Ishak berasal dari Samarqand (dekat Bukhara-Rusia Selatan). Beliau andal pengobatan. Setelah tugasnya di Jawa selesai Maulana Ishak pindah ke Pasai dan wafat di sana.
Maulana Ahmad Jumadil Kubra, berasal dari Mesir. Beliau berdakwah keliling. Makamnya di Troloyo Trowulan, Mojokerto Jawa Timur.
Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maghrib (Maroko), dia berdakwah keliling. Wafat tahun 1465 M. Makamnya di Jatinom Klaten, Jawa Tengah.
Maulana Malik Isroil berasal dari Turki, andal mengatur negara. Wafat tahun 1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
Maulana Muhammad Ali Akbar, berasal dari Persia (Iran). Ahli pengobatan. Wafat 1435 M. Makamnya di Gunung Santri.
Maulana Hasanuddin berasal dari Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya disamping masjid Banten Lama.
Maulana Alayuddin berasal dari Palestina. Berdakwah keliling. Wafat pada tahun 1462 M. Makamnya disamping masjid Banten Lama.
Syekh Subakir, berasal dari Persia, andal menumbali (metode rukyah) tanah seram yang dihuni jin-jin jahat tukang menyesatkan manusia. Setelah para Jin tadi menyingkir dan kemudian tanah yang telah netral dijadikan pesantren. Setelah banyak tempat yang ditumbali (dengan Rajah Asma Suci) maka Syekh Subakir kembali ke Persia pada tahun 1462 M dan wafat di sana. Salah seorang pengikut atau sahabat Syekh Subakir tersebut ada di sebelah utara Pemandian Blitar, Jawa Timur. Disana ada peninggalan Syekh Subakir berupa sajadah yang terbuat dari watu kuno.

2. Walisongo Periode Kedua
Pada periode kedua ini masuklah tiga orang wali menggantikan tiga wali yang wafat. Ketiganya adalah:
Raden Ahmad Ali Rahmatullah, tiba ke Jawa pada tahun 1421 M menggantikan Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M. Raden Ahmad berasal dari Cempa, Muangthai Selatan (Thailand Selatan).
Sayyid Ja’far Shodiq berasal dari Palestina, tiba di Jawa tahun 1436 menggantikan Malik Isro’il yang wafat pada tahun 1435 M. Beliau tinggal di Kudus sehingga dikenal dengan Sunan Kudus.
Syarif Hidayatullah, berasal dari Palestina. Datang di Jawa pada tahun 1436 M. Menggantikan Maulana Ali Akbar yang wafat tahun 1435 M. Sidang walisongo yang kedua ini diadakan di Ampel Surabaya.

Para wali kemudian membagi tugas. Sunan Ampel, Maulana Ishaq dan Maulana Jumadil Kubro bertugas di Jawa Timur. Sunan Kudus, Syekh Subakir dan Maulana Al-Maghrobi bertugas di Jawa Tengah. Syarif Hidayatullah, Maulana Hasanuddin dan Maulana Aliyuddin di Jawa Barat. Dengan adanya pembagian kiprah ini maka masing-masing wali telah mempunyai wilayah dakwah sendiri-sendiri, mereka bertugas sesuai keahlian masing-masing.

3. Walisongo Periode Ketiga

Pada tahun 1463 M. Masuklah empat wali menjadi anggota Walisongo yaitu:
Raden Paku atau Syekh Maulana Ainul Yaqin kelahiran Blambangan Jawa Timur. Putra dari Syekh Maulana Ishak dengan putri Kerajaan Blambangan berjulukan Dewi Sekardadu atau Dewi Kasiyan. Raden Paku ini menggantikan kedudukan ayahnya yang telah pindah ke negeri Pasai. Karena Raden Paku tinggal di Giri maka dia lebih populer dengan sebutan Sunan Giri. Makamnya terletak di Gresik Jawa Timur.
Raden Said, atau Sunan Kalijaga, kelahiran Tuban Jawa Timur. Beliau ialah putra Adipati Wilatikta yang berkedudukan di Tuban. Sunan Kalijaga menggantikan Syekh Subakir yang kembali ke Persia.
Raden Makdum Ibrahim, atau Sunan Bonang, lahir di Ampel Surabaya. Beliau ialah putra Sunan Ampel, Sunan Bonang menggantikan kedudukan Maulana Hasanuddin yang wafat pada tahun 1462. Sidang Walisongo yang ketiga ini juga berlangsung di Ampel Surabaya.

4. Walisongo Periode Keempat
Pada tahun 1466 diangkat dua wali menggantikan dua yang telah wafat yaitu Maulana Ahmad Jumadil Kubro dan Maulana Muhammad Maghrobi. Dua wali yang menggantikannya ialah:
Raden atau Raden Fattah (Raden Patah)
Raden Patah ialah murid Sunan Ampel, dia ialah putra Raja Brawijaya Majapahit. Beliau diangkat sebagai Adipati Bintoro pada tahun 1462 M. Kemudian membangun Masjid Demak pada tahun 1465 dan dinobatkan sebagai Raja atau Sultan Demak pada tahun 1468.
Fathullah Khan, putra Sunan Gunungjati, dia dipilih sebagai anggota Walisongo menggantikan ayahnya yang telah berusia lanjut.

5. Walisongo Periode Kelima
Dapat disimpulkan bahwa dalam periode ini masuk Sunan Muria atau Raden Umar Said-putra Sunan Kalijaga menggantikan wali yang wafat.

Konon Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang itu ialah salah satu anggota Walisongo, namun karena Siti Jenar di kemudian hari mengajarkan fatwa yang menimbulkan keresahan umat dan mengabaikan syariat agama maka Siti Jenar dieksekusi mati. Selanjutnya kedudukan Siti Jenar digantikan oleh Sunan Bayat – bekas Adipati Semarang (Ki Pandanarang) yang telah menjadi murid Sunan Kalijaga.

Selanjutnya, kisah, legenda atau riwayat masing-masing wali yang dikenal masyarakat secara umum akan disajikan pada halaman terpisah. Adapun Wali yang dikenal masyarakat secara luas sebagai WALISONGO adalah:

1. Syekh Maulana Malik Ibrahim
2. Sunan Ampel
3. Sunan Bonang
4. Sunan Giri
5. Sunan Drajad
6. Sunan Muria
7. Sunan Kudus
8. Sunan Kalijaga
9. Sunan Gunungjati

Para peziarah Walisongo, biasanya mendatangi makam sembilan wali tersebut. Jika ziarah itu ingin lebih lengkap maka pemimpin ziarah (yang mengerti sejarah Walisongo) akan menziarahi pula Walisongo periode pertama hingga periode keempat, termasuk guru-guru atau orang renta dari para wali periode kelima. Misalnya, seseorang dari Surabaya yang telah berziarah ke makam Sunan Drajad, ia niscaya akan menyempatkan diri berziarah ke makam Syekh Maulana Malik Ibrahim Asmarakandi di Gresikharjo, dia ialah kakek Sunan Drajad dan ayah dari Raden Rahmat Sunan Ampel.

Itulah sejarah singkat Walisongo, semoga sanggup menambah pengetahuan anda semua. Amin!


Ringkasan Silsilah dari Rasulullah hingga Walisongo
RASULULLAH MUHAMMAD SAW
|
IMAM ‘ALI AL-MURTADHA BIN ABU THALIB
|
IMAM HUSEIN AS-SAYYID BIN IMAM ‘ALI AL-MURTADHA BIN ABU THALIB
|
IMAM ‘ALI ZAINAL ABIDIN bin IMAM HUSEIN AS-SAYYID
|
IMAM MUHAMMAD AL BAQIR bin IMAM ‘ALI ZAINAL ABIDIN
|
IMAM JA’FAR ASH-SHADIQ bin IMAM MUHAMMAD AL BAQIR
|
‘ALI AR-URAIDHI bin IMAM JA’FAR ASH-SHADIQ (Leluhur Jamaludin Husein Al-Akbar)
|
JAMALUDIN HUSEIN AL-AKBAR (LELUHUR WALI SONGO)
|
WALISONGO




1. Syekh Maulana Malik Ibrahim

Jauh sebelum Maulana Malik Ibrahim tiba ke Pulau Jawa, bekerjsama sudah ada masyarakat Islam di daerah-daerah pantai utara. Termasuk di desa Leran. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya makam seorang perempuan berjulukan Fatimah Binti Maimun yang meninggal pada tahun 475 Hijriyyah atau pada tahun 1082 M.

Jadi, sebelum jaman Walisongo, Islam sudah ada di Pulau Jawa yaitu tempat Jepara dan Leren. Tetapi Islam pada masa itu belum berkembang secara besar-besaran.

Maulana Malik Ibrahim yang lebih dikenal penduduk setempat sebagai Kakek Bantal itu diperkirakan tiba ke Gresik pada tahun 1404 M, dia berdakwah di Gresik hingga simpulan wafatnya yaitu pada tahun 1419.

Pada masa itu kerajaan yang berkuasa di Jawa Timur ialah Majapahit. Raja dan rakyatnya kebanyakan masih beragama Hindu atau Budha. Sebagian rakyat Gresik sudah ada yang beragama Islam tapi masih banyak yang beragama Hindu. Atau bahkan tidak beragama sama sekali.

Dalam berdakwah Kakek Bantal menggunakan cara yang bijaksana dan seni administrasi yang sempurna berdasarkan fatwa Al Qur’an yaitu: “Hendaknya engkau ajak ke jalan Tuhanmu dengan himah (kebijaksanaan) dan dengan petunjuk-petunjuk yang baik serta ajaklah mereka berdialog (bertukar pikiran) dengan cara yang sebaik-baiknya (QS An Nahl: 125)

Ada yang menyebutkan bahwa dia berasal dari Turki dan pernah mengembara di Gujarat sehingga dia cukup berpengalaman menghadapi orang-orang Hindu di Pulau Jawa. Gujarat ialah wilayah negeri India yang kebanyakan penduduknya beragama Hindu.

Di Jawa, Kakek Bantal bukan hanya berhadapan dengan masyarakat Hindu, melainkan juga harus bersabar terhadap mereka yang tak beragama maupun mereka yang terlanjur mengikuti aliran sesat, juga meluruskan dogma dari orang-orang Islam yang bercampur dengan kegiatan musyrik. Caranya: dia tidak pribadi menentang kepercayaan mereka yang salah itu melainkan mendekati mereka dengan penuh hikmah, dia tunjukkan keindahan dan ketinggian susila Islami sebagaimana fatwa Nabi Muhammad saw.

Dari huruf-huruf Arab yang terdapat di watu nisannya sanggup diketahui bahwa Syekh Maulana Malik Ibrahim ialah si Kakek Bantal, penolong fakir miskin, yang dihormati para pangeran dan para sultan andal tata negara yang ulung. Hal itu memperlihatkan betapa hebat usaha dia terhadap masyarakat, bukan hanya pada kalangan atas melainkan juga pada golongan rakyat bawah yaitu kaum fakir miskin.

Keterangan yang tertulis di makamnya ialah sebagai berikut: “Inilah makam Almarhum Almaghfur yang berharap rahmat Tuhan pujian para Pangeran, sendi para Sultan dan para Menteri, penolong para fakir miskin, yang berbahagia lagi syahid, cemerlangnya symbol negara dan agama, Malik Ibrahim yang populer dengan Kakek Bantal. Allah meliputinya dengan RahmatNYA dan keridhaanNYA, dan dimasukkan ke dalam surga. Telah wafat pada hari Senin 12 Rabiul Awwal tahun 822 H”

Menurut literatur yang ada, dia juga andal pertanian dan andal pengobatan. Sejak dia berada di Gresik hasil pertanian rakyat Gresik meningkat tajam. Dan orang-orang sakit banyak yang disembuhkannya dengan daun-daunan tertentu.

Sifatnya lemah lembut, welas asih dan ramah tamah kepada semua orang, baik sesama muslim atau dengan non muslim membuatnya populer sebagai tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati. Kepribadiannya yang baik itulah yang menarik hati penduduk setempat sehingga mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka rela dan menjadi pengikut dia yang setia.

Sebagai misal, bila dia menghadapi rakyat jelata yang pengetahuannya masih awam sekali, dia tidak menerangkan Islam secara “njlimet”. Kaum bawah tersebut dibimbing untuk bisa mengolah tanah biar sawah dan ladang mereka sanggup dipanen lebih banyak lagi. Sesudah itu mereka dianjurkan bersyukur kepada Yang Memberikan Rezeki, yaitu Allah swt.

Di kalangan rakyat jelata Syekh Maulana Malik Ibrahim sangat terkenal, terutama dari kalangan kasta rendah. Sebagaimana diketahui agama Hindu membagi masyarakat menjadi empat kasta; Kasta Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Dari keempat kasta tersebut kasta Sudra ialah yang paling rendah dan sering ditindas oleh kasta-kasta yang jauh lebih tinggi. Maka ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim menerangkan kedudukan seseorang di dalam Islam, orang-orang Sudra dan Waisya banyak yang tertarik. Syekh Maulana Malik Ibrahim menjelaskan bahwa dalam agama Islam semua insan sama sederajat. Orang Sudra boleh saja bergaul dengan kalangan yang lebih atas, tidak dibeda-bedakan. Di hadapan Allah semua insan ialah sama, yang paling mulia di antara mereka hanyalah yang paling takwa kepadaNYA.

Takwa itu letaknya di hati, hati yang mengendalikan segala gerak kehidupan insan untuk berusaha sekuat-kuatnya mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNYA.

Dengan takwa itulah insan akan hidup berbahagia di dunia hingga di alam abadi kelak. Orang bertakwa sekalipun dia dari kasta Sudra bisa lebih mulia daripada mereka yang berkasta Ksatria dan Brahmana.

Mendengar keterangan ini, mereka yang berasal dari kasta Sudra dan Waisya merasa lega, mereka merasa dibela dan dikembalikan haknya sebagai insan utuh sehingga wajarlah bila mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka cita.

Setelah pengikutnya semakin banyak, dia kemudian mendirikan masjid untuk beribadah bahu-membahu dan mengaji. Dalam membangun masjid ini dia mendapat derma yang tidak sedikit dari Raja Carmain.

Dan untuk mempersiapkan kader ummat yang nantinya sanggup meneruskan usaha membuatkan Islam ke seluruh Tanah Jawa dan seluruh Nusantara maka dia kemudian mendirikan pesantren yang merupakan perguruan tinggi Islam, tempat mendidik dan menggembleng para santri sebagai calon mubaligh.

Pendirian Pesantren yang pertama kali di Nusantara itu diilhami oleh kebiasaan masyarakat Hindu yaitu para Bikhu dan Pendeta Brahmana yang mendidik cantrik dan calon pemimpin agama di mandala-mandala mereka.

Inilah salah satu seni administrasi para Wali yang cukup jitu; orang Budha dan Hindu yang mendirikan mandala-mandala untuk mendidik kader tidak dimusuhi secara frontal, melainkan beliau-beliau itu mendirikan bentuk Pesantren yang mirip mandala-mandala milik kelompok Hindu dan Budha tersebut untuk menjaring ummat. Dan ternyata hasilnya sungguh memuaskan, dari pesantren Gresik kemudian muncul para mubaligh yang menyebar ke seluruh Nusantara.

Tradisi Pesantren tersebut berlangsung hingga di jaman sekarang, dimana para ulama menggodok calon mubaligh di pesantren yang diasuhnya.

Bila orang bertanya sesuatu persoalan agama kepada dia maka dia tidak menjawab dengan berbelit-belit melainkan dijawabnya dengan gampang dan gamblang sesuai dengan pesan Nabi yang menganjurkan agama disiarkan dengan mudah, tidak dipersulit, ummat harus dibentuk gembira, tidak ditakut-takuti.

Seperti tersebut dalam buku History of Java karangan Sir Stamford Raffles; pada suatu hari Syekh Maulana Malik Ibrahim ditanya;”Apakah yang dinamakan Allah itu?”

Beliau tidak menjawab bahwa Allah itu ialah Tuhan yang memberi pahala sorga bagi hambaNYA yang berbakti dan menyiksa sepedih-pedihnya bagi hamba yang membangkang kepadaNYA.

Jawabannya cukup singkat dan jelas, yaitu,”Allah ialah Zat yang diharapkan adaNYA”.

Dua tahun sudah Syekh Maulana Malik Ibrahim berdakwah di Gresik, dia tidak hanya membimbing ummat untuk mengenal dan mendalami agama Islam, melainkan juga memberi pengarahan biar tingkat kehidupan masyarakat Gresik menjadi lebih baik. Beliau pula yang mempunyai gagasan mengalirkan air dari gunung untuk mengairi lahan pertanian penduduk. Dengan adanya sistem pengairan yang baik ini lahan pertanian menjadi subur dan hasil panen bertambah banyak, para petani menjadi makmur dan mereka sanggup mengerjakan ibadah dengan tenang.

Andaikata Syekh Maulana Malik Ibrahim tidak ikut membenahi dan meningkatkan taraf hidup rakyat Gresik tentulah mereka sukar diajak beribadah dengan baik dan tenang. Sebagaimana sabda nabi bahwa kefakiran menjurus pada kekafiran. Bagaimana mungkin bisa beribadah dengan tenang jikalau sehari-hari disibukkan dengan urusan sesuap nasi. Inilah resep yang harus ditiru.

Tamu dari Negeri Cermain
Ada ganjalan di hati Syekh Maulana Malik Ibrahim. Dia telah berhasil mengislamkan sebagian besar rakyat Gresik. Gresik ialah penggalan dari wilayah Majapahit. Kalau seluruh rakyat sudah memeluk Islam sementara Raja Brawijaya penguasa Majapahit masih beragama Hindu apakah di belakang hari tidak timbul ketegangan antara rakyat dengan rajanya.

Untuk menghindari hal itu muka Syekh Maulana Malik Ibrahim mempunyai rencana mengajak Raja Brawijaya untuk masuk agama Islam.

Hal itu diutarakan kepada sahabatnya yaitu Raja Cermain. Ternyata Raja Cermain juga mempunyai maksud serupa. Sudah usang Raja Cermain ingin mengajak Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Pada tahun 1321 Masehi Raja Cermain tiba ke Gresik disertai putrinya yang bagus rupawan. Putri Raja Cermain itu berjulukan Dewi Sari, tujuannya dalam misi tersebut ialah untuk memberikan bimbingan kepada para putri istana Majapahit mengenal agama Islam.

Bersama Syekh Maulana Malik Ibrahim rombongan dari negeri Cermain itu menghadap Prabu Brawijaya. Usaha mereka ternyata gagal. Prabu Brawijaya bersikeras mempertahankan agama usang dengan ucapan yang diplomatis. Bahwa dia bersedia masuk Islam bila Dewi Sari bersedia dipersuntingnya sebagai istri. Dewi Sari menolak. Tidak ada gunanya masuk Islam bila ditunggangi dengan kepentingan duniawi. Beragama mirip itu hanya akan merusak keagungan agama Islam.

Rombongan dari negeri Cermain kemudian kembali ke Gresik. Mereka beristirahat di Leran sembari menunggu selesainya perbaikan kapal untuk berlayar pulang.

Sungguh sayang sekali, selama beristirahat di Leran itu banyak anggota rombongan dari negeri Cermain yang diserang wabah penyakit. Banyak di antara mereka yang tewas, termasuk Dewi Sari.

Kabar kematian Dewi Sari terdengar ke indera pendengaran Prabu Brawijaya. Raja yang memang tertarik dan merasa jatuh cinta kepada Dewi Sari itu kemudian menyempatkan diri beserta ponggawa kerajaan ke Desa Leran. Brawijaya sang Raja Majapahit itu memerintahkan kepada para ponggawa kerajaan untuk menggali kubur dan memakamkan Dewi Sari dengan upacara kebesaran. Di desa Leran itulah Dewi Sari dikuburkan.

Setelah rombongan dari negeri Cermain meninggalkan pantai Leran maka Prabu Brawijaya menyerahkan seluruh tempat Gresik kepada Syekh Maulana Malik Ibrahim untuk diperintah sendiri di bawah kedaulatan Majapahit.

Penyerahan tempat itu ialah siasat dari sang Raja biar rakyat Gresik yang beragama Islam itu tidak berontak kepada rajanya yang masih beragama Hindu.

Amanat raja Majapahit itu diterima Syekh Maulana Malik Ibrahim dengan suka rela. Sesuai dengan fatwa Islam yang menganjurkan perdamaian walaupun dengan kafir zimmi yaitu orang-orang yang bukan muslim yang mau hidup berdampingan dengan kondusif dalam satu negara.

Demikianlah sekilas ihwal Syekh Maulana Malik Ibrahim, seorang Wali yang dianggap sebagai ayah dari Walisongo. Beliau wafat di Gresik pada tahun 882 H atau 1419 M.



2. Sunan Ampel

Asal-usul

Kenalkah anda dengan tempat Bukhara? Bukhara ini terletak di Samarqand. Sejak dahulu tempat Samarqand ini dikenal sebagai tempat Islam yang menelorkan ulama-ulama besar mirip sarjana hadits populer yaitu Imam Bukhari yang mashur sebagai pewaris hadits sahih.

Di Samarqand ini ada seorang ulama besar berjulukan Syekh Jamalluddin Jumail Kubra, seorang Ahlussunnah bermahzab Syafi’i, dia mempunyai seorang putra berjulukan Ibrahim. Karena berasal dari Samarqand maka Ibrahim kemudian mendapat pemanis Samarqandi. Orang Jawa sangat sukar mengucapkan Samarqandi maka mereka hanya menyebutnya sebagai Syekh Ibrahim Asmarakandi.

Syekh Ibrahim Asmarakandi ini diperintah oleh ayahnya yaitu Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra untuk berdakwah ke negara-negara Asia. Perintah ini dilaksanakan, dan dia kemudian diambil menantu oleh raja Cempa, dijodohkan dengan putri raja Cempa yang berjulukan Dewi Candrawulan.

Negeri Cempa ini berdasarkan sebagian andal sejarah terletak di Muangthai (Thailand). Dari perkawinannya dengan Dewi Candrawulan maka Ibrahim Asmarakandi mendapat dua orang putra yaitu Sayyid Ali Rahmatullah dan Sayyid Ali Murtadho. Sedangkan adik Dewi Candrawulan yang berjulukan Dewi Dwarawati diperistri oleh Prabu Brawijaya Majapahit. Dengan demikian keduanya ialah keponakan Ratu Majapahit dan tergolong putra aristokrat atau pangeran kerajaan. Para Pangeran atau aristokrat kerajaan pada waktu itu mendapat gelar Rahadian yang artinya Tuanku, dalam proses selanjutnya sebutan ini cukup dipersingkat Raden.

Raja Majapahit sangat senang mendapat istri dari negeri Cempa yang wajahnya dan kepribadiannya sangat memikat hati. Sehingga istri-istri lainnya diceraikan, banyak yang diberikan kepada para adipatinya yang tersebar di seluruh Nusantara. Salah satu pola ialah istri yang berjulukan Dewi Kian, seorang putri Cina yang diberikan kepada Adipati Ario Damar di Palembang.

Ketika Dewi Kian diceraikan dan diberikan kepada Ario Damar ketika itu sedang hamil tiga bulan. Ario Damar tidak diperkenankan menggauli putri Cina itu hingga si jabang bayi terlahir ke dunia. Bayi dari rahim Dewi Kian itulah yang nantinya berjulukan Raden Hasan atau lebih dikenal dengan nama Raden Patah, salah seorang murid Sunan Ampel yang menjadi raja di Demak Bintoro.

Kerajaan Majapahit setelah ditinggal Mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk mengalami kemunduran drastis. Kerajaan terpecah belah karena terjadinya perang saudara, dan para adipati banyak yang tak loyal lagi kepada keturunan Prabu Hayam Wuruk yaitu Prabu Brawijaya.

Pajak dan upeti kerajaan tak banyak yang hingga ke istana Majapahit. Lebih sering dinikmati oleh para adipati itu sendiri. Hal ini membuat Prabu bersedih hati. Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan jelek kaum aristokrat dan para pangeran yang suka berpesta pora dan main judi serta mabuk-mabukan. Prabu Brawijaya sadar betul bila kebiasaan semacam itu diteruskan negara akan menjadi lemah dan jikalau negara sudah kehilangan kekuatan betapa mudahnya bagi musuh untuk menghancurkan Majapahit Raya.

Ratu Dwarawati, yaitu istri Prabu Brawijaya mengetahui kerisauan hati suaminya. Dengan memberanikan diri dia mengajukan pendapat kepada suaminya. “Saya mempunyai seorang keponakan yang andal mendidik dalam hal mengatasi kemerosotan budi pekerti,” kata ratu Dwarawati.

“Betulkah?” tanya sang Prabu. “Ya namanya Sayyid Ali Rahmatullah. Putra dari kanda Dewi Candrawulan di negeri Cempa. Bila kanda berkenan saya akan meminta Ramanda Prabu di Cempa untuk mendatangkan Ali Rahmatullah ke Majapahit ini”.

“Tentu saja saya akan merasa senang bila Rama Prabu di Cempa bersedia mengirimkan Sayyid Ali Rahmatullah ke Majapahit ini”, kata Raja Brawijaya.

Ke Tanah Jawa
Maka pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negri Cempa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah tiba ke Majapahit. Kedatangan utusan Majapahit disambut bangga oleh Raja Cempa, dan raja Cempa tidak keberatan melepas cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman.

Keberangkatan Sayyid Ali Rahmat ke Tahan Jawa tidak sendirian. Ia ditemani oleh ayah dan kakaknya sebagaimana disebutkan di atas. Ayah Sayyid Ali Rahmat ialah Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya berjulukan Sayyid Ali Murtadho. Diduga mereka tidak pribadi ke Majapahit, melainkan mendarat di Tuban. Tetapi di Tuban, tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia, dia dimakamkan di desa tersebut yang masih termasuk kecamatan Palang Kabupaten Tuban.

Sayyid Murtadho kemudian meneruskan perjalanan, dia berdakwah keliling ke tempat Nusa Tenggara, Madura dan hingga ke Bima. Di sana dia mendapat sebutan raja Pandita Bima, dan akhirnya berdakwah di Gresik mendapat sebutan Raden Santri, dia wafat dan dimakamkan di Gresik. Sayyid Ali Rahmatullah meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya sesuai permintaan Ratu Dwarawati.

Kapal layar yang ditumpanginya mendarat di Pelabuhan Canggu. Kedatangannya disambut dengan suka cita oleh Prabu Kertabumi. Lebih lebih lagi Ratu Dwarawati bibinya sendiri, perempuan itu memeluknya erat erat seolah sedang memeluk kakak perempuannya yang berada di istana Kerjaan Cempa. Wajah keponakannya itu memang mirip dengan kakak perempuannya.

“Nanda Rahmatullah, bersediakah engkau memberikan pelajaran atau mendidik kaum aristokrat dan rakyat Majapahit biar mempunyai budi pekerti mulia?” tanya sang Prabu setelah Sayyid Rahmatullah beristirahat melepas lelah. Dengan sikapnya yang sopan santun tutur kata yang halus Sayyid Ali Rahmatullah menjawab,”Dengan senang hati Gusti Prabu, saya akan berusaha sekuat-kuatnya untuk mencurahkan kemampuan saya mendidik mereka”.

“Bagus!” sahut sang Prabu. “Bila demikian kau akan kuberi hadiah sebidang tanah berikut bangunannya di Surabaya. Di sanalah kau akan mendidik para aristokrat dan pageran Majapahit biar berbudi pekerti mulia”.

“Terima kasih saya haturkan Gusti Prabu”,” jawab Sayyid Ali Rahmatullah. Disebutkan dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah menetap beberapa hari di istana Majapahit dan dijodohkan dengan salah putri Majapahit yang berjulukan Dewi Candrowati atau Nyai Ageng Manila. Dengan demikian Sayyid Ali Rahmatullah ialah salah seorang Pangeran Majapahit, karena dia ialah menantu raja Majapahit.

Semenjak Sayyid Ali Rahmatullah diambil menantu Raja Brawijaya, maka dia ialah anggota keluarga kerajaan Majapahit atau salah seorang pangeran. Para pangeran pada jaman dulu ditandai dengan nama depan Rahadian atau Raden yang berarti Tuanku. Selanjutnya dia lebih dikenal dengan sebutan Raden Rahmat.

Ampeldenta
Selanjutnya, pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke sebuah tempat di Surabaya yang kemudian disebut dengan Ampeldenta.

Rombongan itu melalui desa Krian, Wonokromo terus memasuki Kembangkuning. Selama dalam perjalanan dia juga berdakwah kepada penduduk setempat yang dilaluinya. Dakwah yang pertama kali dilakukannya cukup unik. Beliau membuat kerajinan berbentuk kipas yang terbuat dari akar tumbuh-tumbuhan tertentu dan dianyam rotan. Kipas-kipas itu dibagi-bagikan kepada penduduk setempat secara gratis. Para penduduk hanya cukup menukarkannya dengan kalimah syahadat.

Penduduk yang mendapatkan kipas itu merasa sangat senang. Terlebih setelah mereka mengetahui kipas itu bukan sembarang kipas, akar yang dianyam bersama rotan itu ternyata berdaya penyembuh bagi mereka yang terkena penyakit batuk dan demam. Dengan cara itu semakin banyak orang yang berdatangan kepada Raden Rahmat. Pada ketika demikianlah ia memperkenalkan keindahan agama Islam sesuai tingkat pemahaman mereka.

Cara itu terus dilakukan hingga rombongan memasuki desa Kembangkuning. Pada ketika itu wilayah desa Kembangkuning belum seluas kini ini. Di sana-sini masih banyak hutan dan digenangi air atau rawa-rawa. Dengan karomahNYA, Raden Rahmat bersama rombongan membuka hutan dan mendirikan tempat sembahyang sederhana atau langgar. Tempat sembahyang tersebut kini telah dirubah menjadi Masjid yang cukup besar dan bagus, dinamakan sesuai dengan nama Raden Rahmat yaitu Masjid Rahmat Kembangkuning.

Di tempat itu pula Raden Rahmat bertemu dan berkenalan dengan dua tokoh masyarakat yaitu: Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning. Kedua tokoh masyarakat itu bersama keluarganya masuk Islam dan menjadi pengikut Raden Rahmat.

Dengan adanya kedua tokoh masyarakat itu maka semakin gampang bagi Raden Rahmat untuk mengadakan pendekatan kepada masyarakat sekitarnya. Terutama kepada masyarakat yang masih memegang teguh adat kepercayaan lama. Beliau tidak pribadi melarang mereka, melainkan memberi pengertian bertahap ihwal pentingnya fatwa ketauhidan. Jika mereka sudah mengenal tauhid atau keimanan kepada Tuhan Pencipta Alam, maka secara otomatis mereka akan meninggalkan sendiri kepercayaan usang yang bertentangan dengan fatwa Islam.

Setelah hingga di tempat tujuan, pertama kali yang dilakukannya ialah membangun Masjid sebagai pusat kegiatan ibadah. Ini meneladani apa yang telah dilakukan Nabi Muhammad saw ketika pertama kali hingga di Madinah.

Dan karena dia menetap di desa Ampeldenta, menjadi penguasa tempat tersebut maka kemudian dia dikenal sebagai Sunan Ampel. Sunan berasal dari kata Susuhunan, artinya Yang dijunjung Tinggi atau panutan masyarakat setempat. Ada juga yang menyampaikan Sunan berasal dari kata Suhu Nan artinya Guru Besar atau Orang Yang Berilmu Tinggi.

Selanjutnya dia mendirikan pesantren tempat mendidik putra aristokrat dan pangeran Majapahit serta siapa saja yang mau tiba berguru kepada beliau.

Ajarannya yang terkenal
Hasil didikan dia yang populer ialah falsafah Moh Limo atau Tidak Mau Melakukan Lima Hal tercela yaitu:

1. Moh Main atau Tidak Mau Berjudi
2. Moh Ngombe atau Tidak Mau Minum Arak atau Bermabuk-mabukan
3. Moh Maling atau Tidak Mau Mencuri
4. Moh Madat atau Tidak Mau Menghisap candu, ganja dan lain-lain
5. Moh Madon atau Tidak Mau Berzina/main perempuan yang bukan istrinya

Prabu Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja menganggap agama Islam itu ialah fatwa budi pekerti yang mulia, maka ketika Raden Rahmat kemudian mengumumkan ajarannya ialah agama Islam maka Prabu Brawijaya tidak menjadi marah, hanya saja ketika dia diajak untuk memeluk agama Islam ia tidak mau. Ia ingin menjadi Raja Budha yang terakhir di Majapahit.

Raden Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya bahkan di seluruh wilayah Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh dipaksa. Raden Rahmat pun memberi klarifikasi bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.

Sesepuh Walisongo
Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Walisongo, sebagai Mufti atau pemimpin agama Islam se Tanah Jawa. Beberapa murid dan putra Sunan Ampel sendiri juga menjadi anggota Walisongo, mereka adalah: Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kota atau Raden Patah, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati.

Raden Patah atau Sunan Kota memang pernah menjadi anggota Walisongo menggantikan kedudukan salah seorang wali yang meninggal dunia. Dengan diangkatnya Sunan Ampel sebagai sesepuh maka para wali lain tunduk patuh kepada kata-katanya. Termasuk fatwa dia dalam menetapkan peperangan dengan pihak Majapahit.

Para wali yang lebih muda menginginkan biar tahta Majapahit direbut dalam tempo secepat-cepatnya. Tetapi Sunan Ampel beropini bahwa persoalan tahta Majapahit tidak perlu diserang secara langsung, karena kerajaan besar itu sesungguhnya sudah keropos dari dalam. Tak usah diserang oleh Demak Bintoro pun bekerjsama Majapahit akan segera runtuh. Para wali yang lebih muda menganggap Sunan Ampel telah lamban dalam memberikan nasehat kepada Raden Patah.

“Mengapa Ramanda beropini demikian?” tanya Raden Patah terhitung menantunya sendiri. “Karena saya tidak ingin di kemudian hari ada orang menuduh Raja Demak Bintoro yang masih putra Majapahit Prabu Kertabumi telah berlaku durhaka yaitu berani menyerang ayahandanya sendiri”, jawab Sunan Ampel dengan tenang.

“Lalu apa yang harus saya lakukan?” “Kau harus sabar menunggu sembari menyusun kekuatan,” ujar Sunan Ampel. “Tak usang lagi Majapahit akan runtuh dari dalam. Diserang adipati lain. Pada ketika itulah kau berhak merebut hak warismu selaku putra Prabu Kertabumi”.

“Majapahit diserang adipati lain? Apakah saya tidak berkewajiban membelanya?” “Inilah ketentuan Tuhan,” sahut Sunan Ampel. “Waktu kejadiannya masih dirahasiakan. Aku sendiri tidak tahu persis kapankah kejadian itu akan berlangsung. Yang terperinci bukan kau adipati yang menyerang Majapahit itu”, Sunan Ampel ialah Penasehat Politik Demak Bintoro. Sekaligus merangkap Pemimpin Walisongo atau Mufti Agama se-Tanah Jawa. Maka fatwanya dipatuhi banyak orang.

Kekuatiran Sunan Ampel tersebut memang terbukti. Di kemudian hari ternyata ada orang-orang pembenci Islam memutarbalikkan fakta sejarah. Mereka menuliskan bahwa Majapahit jatuh diserang oleh kerajaan Demak Bintoro yang Rajanya ialah putra Raja Majapahit sendiri. Dengan demikian Raden Patah dianggap sebagai Anak Durhaka. Ini sanggup anda lihat di dalam Serat Darmo Gandul maupun sejarah yang ditulis para Sarjana yang membenci Islam.

Raden Patah dan para wali lainnya akhirnya tunduk patuh pada fatwa Sunan Ampel. Tibalah saatnya Sunan Ampel wafat pada tahun 1478. Sunan Kalijaga diangkat sebagai penasehat penggalan politik Demak. Sunan Giri diangkat sebagai pengganti Sunan Ampel sebagai Mufti, pemimpin para Wali dan pemimpin agama se-Tanah Jawa. Sesepuh yang selalu dimintai pertimbangannya. Setelah Sunan Giri diangkat sebagai Mufti sikapnya terhadap Majapahit kini berubah. Ia menyetujui usul Aliran Tuban untuk mencari fatwa kepada Raden Patah biar menyerang Majapahit.

Mengapa Sunan Giri bersikap demikian? Karena pada tahun 1478 Kerajaan Majapahit diserang oleh Prabu Rana Wijaya atau Girindrawardhana dari Kadipaten Kediri atau Keling. Dengan demikian sudah tepatlah jikalau Sunan Giri menyetujui penyerangan Demak atas Majapahit. Sebab pewaris sah tahta kerajaan Majapahit ialah Raden Patah selaku putera Raja Majapahit yang terakhir.

Demak kemudian berkemas-kemas menyusun kekuatan. Namun belum lagi serangan dilancarkan, Prabu Rana Wijaya keburu tewas diserang oleh Prabu Udara pada tahun 1498.

Pada tahun 1512, Prabu Udara selaku Raja Majapahit merasa terancam kedudukannya karena melihat kedudukan Demak yang didukung Sunan Giri Kedaton semakin kuat dan mapan. Prabu Udara kawatir jikalau terjadi peperangan akan menderita kekalahan, maka dia minta berhubungan dan minta derma Portugis di Malaka. Padahal Putera Mahkota Demak yaitu Pati Unus pada tahun 1511 telah menyerang Portugis di Malaka.

Sejarah mencatat bahwa Prabu Udara telah mengirim utusan ke Malaka untuk menemui Alfonso d’Albuquerque untuk menyerahkan hadiah berupa 20 genta (gamelan), sepotong kain panjang berjulukan Beirami tenunan Kambayat, 13 batang lembing yang ujungnya berbesi dan sebagainya. Maka tidak salah jikalau pada tahun 1517 Demak menyerang Prabu Udara yang merampas tahta Majapahit secara tidak sah. Dengan demikian jatuhlah Majapahit ke tangan Demak. Seandainya Demak tidak segera menyerang Majapahit tentu bangsa Portugis akan menjajah tanah Jawa jauh lebih cepat daripada bangsa Belanda. Setelah Majapahit jatuh pusaka kerajaan diboyong ke Demak Bintoro. Termasuk Mahkota Rajanya. Raden Patah diangkat sebagai Raja Demak yang pertama.

Sunan Ampel juga turut membantu mendirikan Masjid Agung Demak yang didirikan pada tahun 1477 M. Salah satu di antara empat tiang utama Masjid Demak hingga kini masih diberi nama sesuai dengan yang membuatnya yaitu Sunan Ampel.

Beliau pula yang pertama kali membuat Huruf Pegon atau Tulisan Arab berbunyi bahasa Jawa. Dengan karakter pegon ini dia sanggup memberikan ajaran-ajaran Islam kepada muridnya. Hingga kini karakter pegon tetap digunakan sebagai materi pelajaran agama Islam di kalangan pesantren.

Penyelamat Akidah
Sikap Sunan Ampel terhadap adat istiadat usang sangat berhati-hati, hal ini didukung oleh Sunan Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang pernah tersebut dalam permusyawaratan para wali di Masjid Agung Demak. Pada waktu itu Sunan Kalijaga mengusulkan biar adat istiadat Jawa mirip selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel “Apakah tidak mengkawatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara usang itu nanti dianggap sebagai fatwa yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah.?”

Dalam musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel,”Saya sepakat dengan pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat usang yang masih bisa diarahkan kepada agama Tauhid maka kita akan memberinya warna Islam. Sedang adat dan kepercayaan usang yang jelas-jelas menjurus kearah kemusyrikan kita tinggal sama sekali. Sebagai misal gamelan dan wayang kulit, kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera masyarakat. Adapun ihwal kekawatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada orang yang menyempurnakannya.”

Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan dengan murni dan konsekuen juga mengandung pesan yang tersirat kebenaran yang hakiki, sehingga membuat ummat semakin berhati-hati menjalankan syariat agama secara benar dan higienis dari segala macam bid’ah. Inilah jasa Sunan Ampel yang sangat besar, dengan peringatan inilah dia telah menyelamatkan aqidah ummat biar tidak tergelincir ke lembah musyrik.

Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, dia dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel.

Murid-murid Sunan Ampel
Murid-murid Sunan Ampel itu banyak sekali, baik dari kalangan aristokrat dan para pangeran Majapahit maupun dari kalangan rakyat jelata. Bahkan beberapa anggota Walisongo ialah murid-murid dia sendiri.

Kali ini kami tampilkan dua kisah murid Sunan Ampel yang makamnya tak jauh dari lokasi Sunan Ampel dimakamkan, yaitu:

Kisah Mbah Soleh
Mbah Soleh ialah salah satu dari sekian banyak murid Sunan Ampel yang mempunyai karomah atau keistimewaan.

Adalah sebuah keajaiban yang tak ada duanya, ada seorang insan dikubur hingga sembilan kali. Ini bukan dongeng buatan melainkan ada buktinya. Di sebelah timur Masjid Agung Sunan Ampel ada sembilan kuburan. Itu bukan kuburan sembilan orang tapi hanya kuburan seorang yaitu murid Sunan Ampel yang berjulukan Mbah Soleh.

Kisahnya demikian, Mbah Soleh ialah tukang sapu masjid Ampel di masa hidupnya Sunan Ampel. Apabila menyapu lantai Masjid sangatlah higienis sekali sehingga orang yang sujud di masjid tanpa sajadah tidak merasa ada debunya.

Ketika Mbah Soleh wafat dia dikubur di depan masjid. Ternyata tidak ada santri yang sanggup mengerjakan pekerjaan Mbah Soleh yaitu menyapu lantai masjid dengan higienis sekali. Maka semenjak ditinggal Mbah Soleh masjid itupun lantainya menjadi kotor. Kemudian terucaplah kata-kata Sunan Ampel. “Bila Mbah Soleh masih hidup tentulah masjid ini menjadi bersih”.

Mendadak Mbah Soleh ada di pengimaman masjid sedang menyapu lantai. Seluruh lantai pun kini menjadi higienis lagi. Orang-orang pada terheran melihat Mbah Soleh hidup lagi.

Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh wafat lagi dan dikubur disamping kuburannya dulu. Masjid menjadi kotor lagi, kemudian terucaplah kata-kata Sunan Ampel mirip dulu. Mbah Soleh pun hidup lagi. Hal ini berlangsung beberapa kali sehingga kuburannya ada delapan. Pada ketika kuburan Mbah Soleh ada delapan Sunan Ampel meninggal dunia. Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh meninggal dunia, sehingga kuburan Mbah Soleh ada sembilan. Kuburan yang terakhir berada di ujung paling timur.

Jika anda sempat berziarah ke makam Sunan Ampel, jangan lupa untuk berdo’a di depan makam Mbah Soleh.

Kisah Mbah Sonhaji
Mbah Sonhaji sering disebut Mbah Bolong. Apa pasalnya? Ini bukan gelar kosong atau sekedar olok-olokan. Beliau ialah salah seorang murid Sunan Ampel yang juga mempunyai karomah.

Kisahnya demikian. Pada waktu pembangunan masjid Agung Ampel, Sonhaji lah yang ditugasi mengatur tata letak pengimamannya. Sonhaji bekerja dengan tekun dan penuh perhitungan, jangan hingga letak pengimaman masjid itu tidak menghadap ke arah kiblat. Tapi setelah bangunan pengimaman itu jadi banyak orang yang mewaspadai keakuratannya.

“Apa betul letak pengimaman masjid ini sudah menghadap ke kiblat?” demikian tanya orang yang mewaspadai pekerjaan Sonhaji. Sonhaji tidak menjawab, melainkan melubangi dinding pengimaman sebelah barat kemudian berkata,”Lihatlah ke dalam lubang ini, kalian akan tahu apakah pengimaman ini sudah menghadap kiblat atau belum?”

Orang-orang itu segera melihat ke dalam lubang yang dibentuk Sonhaji. Ternyata di dalam lubang itu mereka sanggup melihat Ka’bah yang berada di Mekah. Orang-orang pada melongo, terkejut, kagum dan akhirnya tak berani meremehkan Sonhaji lagi. Dan semenjak ketika itu mereka lebih bersikap hormat kepada Sonhaji dan mereka memberinya julukan Mbah Bolong.



Dari kisah karomah para wali ataupun para murid wali, seyogyanya menjadi pelajaran bagi mereka yang masih hidup. Ambil contoh, kisah Mbah Soleh di atas, seharusnya mereka yang masih hidup mau meneladani sifat dan sikap Mbah Soleh yang menyukai Masjidnya selalu bersih, karena masjid merupakan tempat yang perlu dijaga kebersihan dan kesuciannya.

Begitulah riwayat singkat Sunan Ampel dan 2 orang muridnya. Semoga kisah mereka bisa menjadi pelajaran hidup bagi kita sebagai generasi penerus mereka, dan semoga amal baik mereka mendapat jawaban yang baik dari Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Amin.



3. Sunan Giri

Di awal masa 14 M, Kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Menak Sembuyu, salah seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit. Raja dan rakyatnya memeluk agama Hindu dan ada sebagian yang memeluk agama Budha.

Pada suatu hari Prabu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya, pasalnya putri mereka satu-satunya telah jatuh sakit selama beberapa bulan. Sudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati tapi sang putri belum juga sembuh.

Memang pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda pegebluk atau wabah penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut citra babad Tanah Jawa esok sakit sorenya mati. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka cita, dan hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total.

Atas saran permaisuri Prabu Menak Sembuyu kemudian mengadakan sayembara, siapa yang sanggup menyembuhkan putrinya akan diambil menantu dan siapa yang sanggup mengusir wabah penyakit di Blambangan akan diangkat sebagai Bupati atau Raja Muda. Sayembara disebar di hampir pelosok negeri. Sehari, dua hari, seminggu bahkan berbulan-bulan kemudian tak ada seorang pun yang menyatakan kesanggupannya untuk mengikuti sayembara itu.

Permaisuri makin sedih hatinya. Prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur istrinya dengan menugaskan Patih Bajul Sengara untuk mencari pertapa sakti guna mengobati penyakit putrinya. Diiringi beberapa prajurit pilihan, Patih Bajul Sengara berangkat melaksanakan tugasnya. Para pertapa biasanya tinggal di puncak atau di lereng-lereng gunung, maka kesanalah Patih Bajul Sengara mengajak pengikutnya mencari orang-orang sakti.

Patih Bajul Sengara akhirnya bertemu dengan Resi Kandabaya yang mengetahui adanya seorang tokoh sakti dari negeri seberang. Orang yang dimaksud ialah Syekh Maulana Ishak yang sedang berdakwah secara sembunyi-sembunyi di negeri Blambangan.

Patih Bajul Sengara sanggup bertemu dengan Syekh Maulana Ishak yang sedang bertafakkur di sebuah goa. Setelah terjadi perundingan bahwa Raja dan rakyat Blambangan mau diajak memeluk agama Islam maka Syekh Maulana Ishak bersedia tiba ke istana Blambangan. Ia memang piawai di bidang ilmu ketabiban, putri Dewi Sekardadu sembuh setelah diobati. Pegebluk juga lenyap dari wilayah Blambangan. Sesuai kesepakatan Raja maka Syekh Maulana Ishak dikawinkan dengan Dewi Sekardadu. Diberi kedudukan sebagai Adipati untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan.

Hasutan Sang Patih
Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati gres di Blambangan. Makin hari semakin bertambah banyak saja penduduk Blambangan yang masuk agama Islam. Sementara Patih Bajul Sengara tak henti-hentinya mempengaruhi sang Prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya. Hati Prabu Menak Sembuyu jadi panas karena mengetahui hal ini.

Patih Bajul Sengara sendiri tanpa sepengetahuan sang Prabu sudah mengadakan teror pada pengikut Syekh Maulana Ishak. Tidak sedikit penduduk Kadipaten yang dipimpin Syekh Maulana Ishak diculik, disiksa dan dipaksa kembali kepada agama lama. Walau kegiatan itu dilakukan secara rahasia dan sembunyi-sembunyi pada akhirnya Syekh Maulana Ishak mengetahui juga.

Pada ketika itu Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan. Syekh Maulana Ishak sadar, bila hal itu diteruskan akan terjadi pertumpahan darah yang seharusnya tidak perlu. Kasihan rakyat jelata yang harus menanggung akibatnya. Maka dia segera berpamit kepada istrinya untuk pergi meninggalkan Blambangan.

Demikianlah, pada tengah malam, dengan hati berat karena harus meninggalkan istri tercinta yang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak berangkat meninggalkan Blambangan seorang diri. Esok harinya sepasukan besar prajurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara menerobos masuk wilayah Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syekh Maulana Ishak. Tentu saja Patih kecele, walau seluruh isi istana diobrak-abrik dia tidak menemukan Syekh Maulana Ishak yang sangat dibencinya.

Dua bulan kemudian dari rahim Dewi Sekardadu lahir bayi pria yang elok rupanya. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisurinya merasa senang dan senang melihat kehadiran cucunya yang bahenol dan rupawan itu. Bayi itu lain daripada yang lain, wajahnya mengeluarkan cahaya terang.

Lain halnya dengan Patih Bajul Sengara. Dibiarkannya bayi itu mendapat limpahan kasih sayang keluarga istana selama empat puluh hari. Sesudah itu dia menghasut Prabu Menak Sembuyu. Kebetulan pada ketika itu wabah penyakit berjangkit lagi di Blambangan. Maka Patih Bajul Sengara bikin ulah lagi.

“Bayi itu! Benar gusti Prabu! Cepat atau lambat bayi itu akan menjadi tragedi di kemudian hari. Wabah penyakit inipun berdasarkan dukun-dukun populer di Blambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang memancar dari jiwa bayi itu!” kilah Patih Bajul Sengara dengan alasan yang dibuat-buat.

Sang Prabu tidak cepat mengambil keputusan, dikarenakan dalam hatinya dia terlanjur menyukai kehadiran cucunya itu, namun sang Patih tiada bosan-bosannya menteror dengan hasutan dan tuduhan keji akhirnya sang Prabu terpengaruh juga.

Walau demikian tiada tega juga dia memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu secara langsung. Bayi yang masih berusia empat puluh hari akhirnya dimasukkan ke dalam peti dan diperintahkan untuk dibuang ke samodra.

Joko Samodra
Pada suatu malam ada sebuah bahtera dagang dari Gresik melintasi Selat Bali. Ketika bahtera itu berada di tengah-tengah Selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, bahtera itu tidak sanggup bergerak, maju tak bisa mundur pun tak bisa.

Nakhoda memerintahkan awak kapal untuk mengusut sebab-sebab kemacetan itu, mungkinkah perahunya membentur watu karang. Setelah diperiksa ternyata bahtera itu hanya menabrak sebuah peti berukir indah. Seperti peti milik kaum aristokrat yang digunakan menyimpan barang berharga. Nakhoda memerintahkan mengambil peti itu. Diatas bahtera peti itu dibuka, semua orang terkejut karena didalamnya terdapat seorang bayi mungil yang bertubuh bahenol dan rupawan. Nakhoda merasa bangga sanggup menyelamatkan jiwa bayi mungil itu, tapi juga mengutuk orang yang tega membuang bayi itu ke tengah lautan, sungguh orang yang tidak berperi kemanusiaan.

Nakhoda kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan pelayaran ke Pulau Bali. Tapi bahtera tak sanggup bergerak maju. Ketika bahtera diputar dan diarahkan ke Gresik ternyata bahtera itu melaju dengan cepatnya.

Di hadapan Nyai Ageng Pinatih janda kaya pemilik kapal Nakhoda berkata sambil membuka peti itu. “Peti inilah yang menimbulkan kami kembali dalam waktu secepat ini. Kami tak sanggup meneruskan pelayaran ke Pulau Bali,” kata sang Nakhoda.

“Bayi…? Bayi siapa ini?”, gunam Nyai Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu dari dalam peti. “Kami menemukannya di tengah samodra, Selat Bali, jawab Nakhoda kapal.

Bayi itu kemudian mereka serahkan kepada Nyai Ageng Pinatih untuk diambil sebagai anak angkat. Memang sudah usang dia menginginkan seorang anak. Karena bayi itu ditemukan di tengah samodra maka Nyai Ageng Pinatih kemudian memberinya nama Joko Samodra.

Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samodra untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya. Menurut beberapa sumber mula pertama Joko Samodra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan biar anak itu mondok saja di Pesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari agama Islam.

Pada suatu malam, mirip biasa Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu guna melaksanakan shalat tahjuud mendoakan murid muridnya dan mendoakan ummat biar selamat di dunia dan akhirat. Sebelum berwudhu Raden Rahmat menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang tidur di asrama.

Tiba-tiba Raden Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari salah seorang santrinya. Selama beberapa ketika dia tertegun, sinar terang itu menyilaukan mata, untuk mengetahui siapakah murid yang wajahnya bersinar itu maka Sunan Ampel memberi ikatan pada murid itu.

Esok harinya, setelah shalat subuh. Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu. “Siapa di antara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada ikatan?” tanya Sunan Ampel. “Saya Kanjeng Sunan…” acung Joko Samodra.

Melihat yang mengacungkan tangan Joko Samodra, Sunan Ampel makin yakin bahwa anak itu pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan pada ketika itu Nyai Ageng Pinatih tiba untuk menengok Joko Samodra, kesempatan itu digunakan Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh ihwal asal-usul Joko Samodra.

Nyai Ageng Pinatih menjawab sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samodra ditemukan di tengah selat Bali ketika masih bayi. Peti yang digunakan untuk membuang bayi itu hingga kini masih tersimpan rapi di rumah Nyai Ageng Pinatih.

Teringat pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum berangkat ke negeri Pasai maka Sunan Ampel kemudian mengusulkan pada Nyai Ageng Pinatih biar nama anak itu diganti dengan nama Raden Paku. Nyai Ageng Pinatih berdasarkan saja apa kata Sunan Ampel, dia percaya penuh kepada Wali besar yang sangat dihormati masyarakat bahkan juga masih terhitung seorang Pangeran Majapahit itu.

Raden Paku
Sewaktu mondok di pesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat bersahabat bersahabat dengan putra Raden Rahmat yang berjulukan Raden Makdum Ibrahim. Keduanya bagai saudara kandung saja, saling mencintai dan saling mengingatkan.

Setelah berusia 16 tahun, kedua cowok itu dianjurkan untuk menimba pengetahuan yang lebih tinggi di Negeri Seberang sambil meluaskan pengalaman.

“Di negeri Pasai banyak orang pintar dari aneka macam negeri. Disana juga ada ulama besar yang bergelar Syekh Awwallul Islam. Dialah ayah kandungmu yang nama aslinya ialah Syekh Maulana Ishak. Pergilah kesana tuntutlah ilmunya yang tinggi dan teladanilah kesabarannya dalam mengasuh para santri dan berjuang membuatkan agama Islam. Hal itu akan berkhasiat kelak bagi kehidupanmu di masa yang akan datang”.

Pesan itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim. Dan begitu hingga di negeri Pasai keduanya disambut gembira, penuh rasa haru dan senang oleh Syekh Maulana Ishak ayah kandung Raden Paku yang tak pernah melihat anaknya semenjak bayi.

Raden Paku menceritakan riwayat hidupnya semenjak masih kecil ditemukan di tengah samodra dan kemudian diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih dan berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya.

Sebaliknya Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan pengalamannya di ketika berdakwah di Blambangan sehingga terpaksa harus meninggalkan istri yang sangat dicintainya.

Raden Paku menangis sesenggukan mendengar kisah itu. Bukan menangisi kemalangan dirinya yang telah disia-siakan kakeknya yaitu Prabu Menak Sembuyu tetapi memikirkan nasib ibunya yang tak diketahui lagi tempatnya berada. Apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal dunia.

Di negeri Pasai banyak ulama besar dari negara asing yang menetap dan membuka pelajaran agama Islam kepada penduduk setempat. Hal ini tidak disia-siakan oleh Raden Paku dan Maulana Makdum Ibrahim. Kedua cowok itu berguru agama dengan tekun, baik kepada Syekh Maulana Ishak sendiri maupun kepada guru-guru agama lainnya.

Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai ilmu laduni yaitu ilmu yang pribadi berasal dari Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya seolah tiada bandingnya. Disamping berguru ilmu Tauhid mereka juga mempelajari ilmu Tasawuf dari ulama Iran, Baghdad dan Gujarat yang banyak menetap di negeri Pasai.

Ilmu yang dipelajari itu besar lengan berkuasa dan menjiwai kehiduapn Raden Paku dalam perilakunya sehari-hari sehingga kentara benar bila ia mempunyai ilmu tingkat tinggi, ilmu yang bekerjsama hanya pantas dimiliki ulama yang berusia lanjut dan berpengalaman. Gurunya kemudian memberinya gelar Syekh Maulana A’inul Yaqin.

Setelah tiga tahun di Pasai, dan masa berguru itu sudah dianggap cukup oleh Syekh Maulana Ishak, kedua cowok itu diperintahkan kembali ke tanah Jawa. Oleh ayahnya, Raden Paku diberi sebuah bungkusan kain putih berisi tanah. “Kelak, bila tiba masanya dirikanlah Pesantren di Gresik, carilah tanah yang sama betul dengan tanah dalam bungkusan ini disitulah kau membangun Pesantren”, demikian pesan ayahnya.

Kedua cowok itu kemudian kembali ke Surabaya. Melaporkan segala pengalamannya kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel memerintah Makdum Ibrahim berdakwah di tempat Tuban. Sedang Raden Paku diperintah pulang ke Gresik kembali ke ibu angkatnya yaitu Nyai Ageng Pinatih.

Membersihkan Diri
Pada usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang dagangan ke Pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan senang hati. Nakhoda sanggup diserahkan kepada pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah tapi Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut memasarkan dagangan di Pulau Banjar.

Tiga buah kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Gresik dengan penuh muatan. Biasanya, setelah dagangan itu terjual habis di Pulau Banjar maka Abu Hurairah diperintah membawa barang dagangan dari Pulau Banjar yang sekiranya laku di Pulau Jawa, mirip rotan, damar, emas, dan lain-lain. Dengan demikian laba yang diperoleh menjadi berlipat ganda. Tapi kali ini tidak, setelah kapal merapat di pelabuhan Banjar, Raden Paku membagi-bagikan barang dagangan dari Gresik itu secara gratis kepada penduduk setempat. Tentu saja hal ini membuat Abu Hurairah menjadi cemas. Dia segera memprotes tindakan Raden Paku. “Raden …kita niscaya akan mendapat murka Nyai Ageng Pinatih. Mengapa barang dagangan kita diberikan secara cuma-cuma?” “Jangan kawatir paman”, kata Raden Paku. “Tindakan saya ini sudah tepat. Penduduk Banjar pada ketika ini sedang dilanda musibah. Mereka dilanda kekeringan dan kurang pangan. Sedangkan ibu sudah terlalu banyak mengambil laba dari mereka. Sudahkah ibu memberikan hartanya dengan membayar zakat kepada mereka? Saya kira belum, nah kini lah saatnya ibu mengeluarkan zakat untuk membersihkan diri”.

“Itu diluar kewenangan saya Raden”, kata Abu Hurairah. “Jika kita tidak memperoleh uang kemudian dengan apa kita mengisi bahtera supaya tidak oleng dihantam ombak dan badai?” Raden Paku terdiam beberapa saat. Dia sudah maklum bila dagangan habis biasanya Abu Hurairah akan mengisi kapal atau bahtera dengan barang dagangan dari Kalimantan. Tapi kini tak ada uang dengan apa dagangan Pulau Banjar akan dibeli.

“Paman tak usah risau”, kata Raden Paku dengan tenangnya “Supaya kapal tidak oleng isilah karung-karung kita dengan watu dan pasir”. Memang benar, mereka sanggup berlayar hingga di pantai Gresik dalam keadaan selamat. Tapi hati Abu Hurairah menjadi kebat-kebit sewaktu berjalan meninggalkan kapal untuk menghadap Nyai Ageng Pinatih.

Dugaan Abu Hurairah memang tepat. Nyai Ageng Pinatih terbakar amarahnya demi mendengar perbuatan Raden Paku yang dianggap tidak normal itu. “Sebaiknya ibu lihat dahulu!” pinta Raden Paku. “Sudah jangan banyak bicara, buang saja pasir dan watu itu. Hanya mengotori karung-karung kita saja!”, hardik Nyai Ageng Pinatih. Tetapi ketika awak kapal membuka karung-karung itu, mereka terkejut. Karung-karung itu isinya bermetamorfosis barang-barang dagangan yang biasa mereka bawa dari Banjar, mirip rotan, damar, kain, dan emas serta intan. Bila ditaksir harganya jauh lebih besar ketimbang barang dagangan yang disedekahkan kepada penduduk Banjar.

Perkawinan Raden Paku
Alkisah, ada seorang aristokrat Majapahit berjulukan Ki Ageng Supa Bungkul. Ia mempunyai sebuah pohon delima yang aneh di depan pekarangan rumahnya. Setiap kali ada orang hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu niscaya mengalami nasib celaka. Kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal dunia. Suatu ketika Raden Paku tanpa disengaja lewat di depan pekarangan Ki Ageng Bungkul. Begitu dia berjalan di bawah pohon delima tiba-tiba buah pohon itu jatuh mengenai kepala Raden Paku.

Ki Ageng Bungkul tiba-tiba muncul mencegat Raden Paku, dan ia berkata,”Kau harus kawin dengan putriku, Dewi Wardah”.

Memang, Ki Ageng Bungkul telah mengadakan sayembara, siapa saja yang sanggup memetik buah delima itu dengan selamat maka ia akan dijodohkan dengan putrinya yang berjulukan Dewi Wardah. Raden Paku gundah menghadapi hal itu. Maka kejadian itu disampaikan kepada Sunan Ampel.

“Tak usah bingung, Ki Ageng Bungkul itu seorang muslim yang baik. Aku yakin Dewi Wardah juga muslimah yang baik. Karena hal itu sudah menjadi niat Ki Ageng Bungkul kuharap kau lumayan niat baiknya itu”, demikian kata Sunan Ampel.

“Tapi…bukankah saya hendak menikah dengan putri Kanjeng Sunan yaitu Dewi Murtasiah?”, ujar Raden Paku. “Tidak mengapa”, kata Sunan Ampel. “Sesudah melangsungkan pernikahan dengan Dewi Murtasiah selanjutnya kau akan melangsungkan perkawinanmu dengan Dewi Wardah”.

Itulah liku-liku perjalanan hidup Raden Paku. Dalam sehari ia menikah dua kali. Menjadi menantu Sunan Ampel, kemudian menjadi menantu Ki Ageng Bungkul seorang aristokrat Majapahit yang hingga kini makamnya terawat baik di Surabaya.

Sesudah berumah tangga, Raden Paku makin ulet berdagang dan berlayar antar pulau. Sambil berlayar itu pula dia menyiarkan agama Islam pada penduduk setempat sehingga namanya cukup populer di kepulauan Nusantara.

Lama-lama kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan hatinya. Ia ingin berkonsentrasi menyiarkan agama Islam dengan mendirikan pondok pesantren. Iapun minta izin kepada ibunya untuk meninggalkan dunia perdagangan. Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan. Andaikata hartanya yang banyak itu dimakan setiap hari dengan anak dan menantunya rasanya tiada akan habis, terlebih Juragan Abu Hurairah orang kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan kesanggupannya untuk mengurus seluruh kegiatan perdagangan miliknya, maka perempuan itu tulus melepaskan Raden Paku yang hendak mendirikan pesantren.

Mulailah Raden Paku bertafakkur di goa yang sunyi, 40 hari 40 malam, dia tidak keluar goa, hanya bermunajat kepada Allah. Tempat Raden Paku bertafakkur itu hingga kini masih ada yaitu desa Kembangan dan Kebomas.

Usai bertafakkur teringatlah Raden Paku pada pesan ayahnya sewaktu berguru di negeri Pasai. Diapun berjalan berkeliling untuk mencari tempat yang tanahnya mirip dengan tanah yang dibawa dari negeri Pasai.

Melalui desa Margonoto, sampailah Raden Paku di tempat perbukitan yang hawanya sejuk, hatinya terasa damai, iapun mencocokkan tanah yang dibawanya dengan tanah di tempat itu. Ternyata cocok sekali. Maka di desa Sidomukti itulah ia kemudian mendirikan pesantren. Karena tempat itu ialah dataran tinggi atau gunung, maka dinamakan-lah Pesantren Giri. Giri dalam bahasa Sansekerta artinya gunung.

Atas dukungan istri-istri dan ibunya juga dukungan spiritual dari Sunan Ampel, tidak begitu lama, hanya dalam waktu tiga tahun Pesantren Giri sudah populer ke seluruh Nusantara.

Di muka telah disebutkan, bahwa hanya dalam tempo waktu tiga tahun Sunan Giri berhasil mengelola Pesantrennya hingga namanya populer ke seluruh Nusantara. Menurut Dr. HJ. De Graaf, setelah pulang dari pengembaraannya atau berguru ke negeri Pasai, ia memperkenalkan diri kepada dunia, kemudian berkedudukan di atas bukit di Gresik, dan ia menjadi orang pertama yang paling populer dari Sunan-sunan Giri yang ada. Di atas gunung tersebut seharusnya ada istana karena di kalangan masyarakat dibicarakan adanya Giri Kedaton (kerajaan Giri). Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala penjuru, mirip Maluku, Madura, Lombok, Makasar, Hitu, dan Ternate. Demikian berdasarkan De Graaf.

Menurut Babad Tanah Jawa murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran hampir di seluruh penjuru benua besar, mirip Eropa (Rum), Arab, Mesir, Cina dan lain-lain. Semua itu ialah penggambaran nama Sunan Giri sebagai ulama besar yang sangat dihormati orang pada jamannya. Disamping pesantrennya yang besar ia juga membangun masjid sebagai pusat ibadah dan pembentukkan dogma ummatnya. Untuk para santri yang tiba dari jauh dia juga membangun asrama yang luas.

Di sekitar bukit tersebut bekerjsama dahulu jarang dihuni oleh penduduk dikarenakan sulitnya mendapatkan air. Tetapi dengan adanya Sunan Giri persoalan air itu sanggup diatasi. Cara Sunan Giri membuat sumur atau sumber air itu sangat aneh dan mistik hanya dia seorang yang bisa melakukannya.

Peresmian Masjid Demak
Dalam pelantikan Masjid Demak, Sunan Kalijaga mengusulkan biar dibuka dengan pertunjukkan wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya masih wayang beber yaitu gambar insan yang dibeber pada sebuah kulit binatang.

Usul Sunan Kalijaga ditolak oleh Sunan Giri, karena wayang yang bergambar insan itu haram hukumnya dalam fatwa Islam, demikian berdasarkan Sunan Giri.

Jika Sunan Kalijaga mengusulkan pelantikan Masjid Demak itu dengan membuka pagelaran wayang kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat berkumpul boleh masuk setelah mengucapkan syahadat, maka Sunan Giri mengusulkan biar Masjid Demak diresmikan pada ketika hari Jum’at sembari melaksanakan shalat jamaah Jum’at.

Sunan Kalijaga yang berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan Giri. Sebelumnya Sunan Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit sehingga gambarannya tidak bisa disebut sebagai gambar insan lagi, lebih mirip karikatur mirip bentuk wayang yang ada kini ini.

Sunan Kalijaga membawa wayang kreasinya itu di hadapan sidang para Wali. Karena tak bisa disebut sebagai gambar insan maka akhirnya Sunan Giri menyetujui wayang kulit itu digunakan sebagai media dakwah.

Perubahan bentuk wayang kulit itu ialah dikarenakan sanggahan Sunan Giri, karena itu, Sunan Kalijaga memberi tanda khusus pada momentum penting itu. Pemimpin para ilahi dalam pewayangan oleh Sunan Kalijaga dinamakan Sang Hyang Girinata, yang arti bekerjsama ialah Sunan Giri yang menata.

Maka perdebatan ihwal pelantikan Masjid Demak bisa diatasi. Peresmian itu akan diawali dengan shalat Jum’at, kemudian diteruskan dengan pertunjukkan wayang kulit yang dimainkan oleh ki Dalang Sunan Kalijaga.

Jasa-jasa Sunan Giri
Jasanya yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam meyebarkan agama Islam di Tanah Jawa bahkan ke Nusantara, baik dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil berdagang ataupun melalui murid-muridnya yang ditugaskan ke luar pulau.

Beliau pernah menjadi hakim dalam kasus pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang wali yang dianggap murtad karena membuatkan faham Pantheisme dan meremehkan syariat Islam yang disebarkan para wali lainnya. Dengan demikian Sunan Giri ikut menghambat tersebarnya aliran yang bertentangan dengan faham ahlus sunnah wal jama’ah.

Keteguhannya dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan konsekuen membawa dampak positif bagi generasi Islam berikutnya. Islam yang disiarkannya ialah Islam yang sesuai fatwa Nabi, tanpa dicampuri kepercayaan atau adat istiadat lama.

Di bidang kesenian dia juga berjasa besar, karena beliaulah yang pertama kali membuat Asmaradana dan Pucung, dia pula yang membuat tembang dan tembang dolanan bawah umur yang bernafas Islam antara lain: Jamuran, Cublak Cublak Suweng, Jithungan dan Delikan.

Diantara permainan bawah umur yang dicintainya ialah sebagai berikut: Di antara bawah umur yang bermain ada yang menjadi pemburu, dan yang lainnya menjadi obyek buruan. Mereka akan selamat dari kejaran pemburu bila telah berpegang pada tonggal atau batang pohon yang telah ditentukan lebih dulu. Inilah permainan yang disebut Jelungan. Arti permainan tersebut ialah seseorang yang sudah berpegang teguh kepada agama Islam Tauhid maka ia akan selamat dari permintaan setan atau iblis yang dilambangkan sebagai pemburu.

Sembari melaksanakan permainan yang disebut jelungan itu biasanya bawah umur akan menyanyikan lagu Padhang Bulan:

“Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan,
Dolanane na ing latar,
Ngalap padhang padhang gilar-gilar,
Nundung begog hangetikar”.

(Malam terang bulan, marilah lekas bermain, bermain di halaman, mengambil di halaman, mengambil manfaat benderangnya rembulan, mengusir gelap yang lari terbirit-birit)

Maksud lagu dolanan tersebut ialah:
Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, di muka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, biar hilang lenyaplah kebodohan dan kesesatan.

Para Pengganti Sunan Giri
Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1442, memerintahkan kerajaan Giri selama kurang lebih dua puluh tahun. Mulai tahun 1487 hingga tahun 1506. Sewaktu memerintah Giri Kedaton dia bergelar Prabu Satmata.

Pengaruh Sunan Giri ini sangat besar terhadap kerajaan-kerajaan Islam di Jawa maupun di luar Jawa. Sebagai bukti ialah adanya kebiasaan bahwa apabila seorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah memerlukan ratifikasi dari Sunan Giri.

Giri Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama hampir 200 tahun. Sesudah Sunan Giri yang pertama meninggal dunia dia digantikan anak keturunannya yaitu:

1. Sunan Dalem
2. Sunan Sedomargi
3. Sunan Giri Prapen
4. Sunan Kawis Guwa
5. Panembahan Ageng Giri
6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana
7. Pangeran Singonegoro (bukan keturuanan Sunan Giri)
8. Pangeran Singosari.

Pangeran Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari serbuan Sunan Amangkurat II yang dibantu oleh VOC dan kapten Jonker. Serbuan ke Giri itu ialah dalam rangka penumpasan pemberontakan yang dilakukan oleh Trunojoyo seorang murid dari Pesantren Giri yang pernah menjungkirbalikkan Kraton Surakarta dan bahkan pernah menjadi Raja di Kediri.

Pemberontakan Trunojoyo itu dilakukan karena tindakan otoriter dari Sunan Amangkurat I yang pernah menumpas dan membunuh 6000 ulama Ahlus sunnah wal jama’ah yang dituduh membuatkan isu ketidakpuasan rakyat terhadap raja. Padahal itu hanya fitnah dari orang-orang yang menjadi kaki tangan Sunan Amangkurat I, mereka ialah para pengikut faham Manunggaling Kawula lan Gusti, faham yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar yang ditentang Walisongo.

Sesudah Pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri Kedaton. Yang tinggal hanyalah makam-makam dan peninggalan Sunan Giri, yang dirawat oleh juru kunci makam. Meski demikian kharismanya sebagai ulama besar, wali terkemuka tetap infinit sepanjang masa. Itu bisa Anda buktikan dengan melihat jumlah para peziarah yang tiap hari membanjiri makamnya.



4. Sunan Bonang

Brahmana dari India

Agama Islam yang menyebar luas di Tanah Jawa cukup menggemparkan masyarakat dari belahan dunia lain. Termasuk para pendeta Brahmana dari India. Salah seorang Brahmana berjulukan Sakyakirti merasa penasaran. Maka bersama beberapa orang muridnya ia berlayar menuju Pulau Jawa. Dibawanya pula kitab-kitab rujukan yang telah dipelajari untuk dipergunakan berdebat dengan penyebar Agama Islam di Tanah Jawa.

“Aku Brahmana Sakyakirti, akan menantang Sunan Bonang untuk berdebat dan berkelahi kesaktian”, ujar Brahmana itu sembari berdiri di atas geladak di buritan kapal layar. “Jika dia kalah maka akan kutebas batang lehernya. Jika dia yang menang saya akan bertekuk lutut untuk mencium telapak kakinya. Akan kuserahkan jiwa ragaku kepadanya”.

Murid-muridnya, yang selalu berdiri dan mengikutinya dari belakang menjadi saksi atas sumpah yang diucapkan di tengah samudera. Namun ketika kapal layar yang ditumpanginya hingga di perairan Tuban, mendadak bahari yang tadinya tenang tiba-tiba bergolak hebat. Angin dari segala penjuru seolah berkumpul jadi satu, menghantam air laut, sehingga menimbulkan angin puting-beliung setinggi bukit.

Dengan kesaktiannya Brahmana Sakyakirti mencoba menggempur angin puting-beliung yang hendak menerjang kapal layarnya. Satu dua kali hal itu sanggup dilakukannya namun terjangan ombak yang kelima kali membuat kapal layarnya pribadi karam ke dalam laut. Dengan susah payah dia mencabut beberapa batang balok kayu untuk menyelamatkan diri dan menolong beberapa orang muridnya biar jangan hingga karam ke dasar samudera.

Walaupun pada akhirnya ia dan para pengikutnya berhasil menyelamatkan diri, namun kitab-kitab rujukan yang hendak dipergunakan untuk berdebat dengan Sunan Bonang telah karam ke dasar laut. Padahal kitab-kitab itu didapatkannya dengan susah payah. Cara mempelajarinya pun tidak mudah. Ia harus berguru bahasa Arab terlebih dahulu, akal-akalan masuk Islam dan menjadi murid ulama besar di negeri Gujarat. Kini, setelah hingga di perairan Laut Jawa, tiba-tiba kitab-kitab yang tebal itu hilang musnah ditelan air laut.

Tapi niatnya untuk mengadu ilmu dengan Sunan Bonang tak pernah surut. Ia dan murid-muridnya telah terdampar di tepi pantai yang tak pernah dikenalnya. Ia agak gundah harus kemana untuk mencari Sunan Bonang. Ia menoleh kesana kemari. Mencari seseorang untuk dimintai petunjuk jalan. Namun tak terlihat seorang pun di pantai itu.

Saat hampir putus asa, tiba-tiba di kejauhan ia melihat seorang lelaki berjubah putih sedang berjalan sembari membawa tongkat. Ia dan murid-muridnya segera berlari menghampiri dan menghentikan lelaki itu. Lelaki berjubah putih itu menghentikan langkah dan menancapkan tongkatnya ke pasir.

“Kisanak, kami tiba dari India hendak mencari seorang ulama besar berjulukan Sunan Bonang. Dapatkah Kisanak memberitahu dimana kami bisa bertemu dengannya?” kata sang Brahmana. “Untuk apa tuan mencari Sunan Bonang?”, tanya lelaki itu. “Akan saya ajak berdebat ihwal persoalan keagamaan”, kata sang Brahmana. “Tapi sayang kitab-kitab yang saya bawa telah karam ke dasar laut. Meski demikian niat saya tak pernah padam. Masih ada beberapa hal yang sanggup saya ingat sebagai materi perdebatan”.

Tanpa banyak bicara lelaki berjubah putih itu mencabut tongkatnya yang menancap di pasir, mendadak tersemburlah air dari lubang bekas tongkat itu menancap, membawa keluar semua kitab yang dibawa sang Brahmana.

“Itukah kitab-kitab tuan yang karam ke dasar laut?” tanya lelaki itu. Sang Brahmana dan pengikutnya mengusut kitab-kitab itu. Ternyata benar miliknya sendiri. Berdebarlah hati sang Brahmana sembari menduga-duga siapa bekerjsama lelaki berjubah putih itu.

Murid-murid sang Brahmana yang semenjak tadi sudah kehausan pribadi aja menyerobot air jernih yang memancar itu. Brahmana Sakyakirti memandangnya dengan rasa kawatir, jangan-jangan muridnya itu akan segera mabok karena meminum air di tepi bahari yang pastilah banyak mengandung garam.

“Segar! Aduh segarnya!”, seru murid-murid sang Brahmana dengan girangnya. Yang lain segera berebutan untuk membasahi tenggorokannya yang kering.

Brahmana Sakyakirti tercenung. Bagaimana mungkin air di tepi pantai terasa segar. Ia mencicipinya sedikit. Memang segar rasanya. Rasa herannya makin menjadi-jadi terlebih jikalau berpikir ihwal kemampuan lelaki berjubah putih itu dalam membuat lubang air memancar dan bisa menghisap kitab-kitab yang telah karam ke dasar laut. Pastilah orang berjubah putih itu bukan orang sembarangan. Ia sudah mengerahkan ilmunya untuk mendeteksi apakah semua itu hanya tipuan ilmu sihir? Ternyata bukan! Bukan ilmu sihir, tapi kenyataan!.

Seribu Brahmana di India tak bisa melaksanakan hal ini! Pikir sang Brahmana. Dengan rasa was-was, takut dan gentar ia menatap wajah orang berjubah putih itu. “Apakah nama tempat tempat saya terdampar ini?” tanya sang Brahmana dengan hati kebat-kebit. “Tuan berada di pantai Tuban!” jawab lelaki itu. Serta merta Brahmana dan para pengikutnya menjatuhkan diri berlutut di hadapan lelaki itu. Mereka sudah sanggup menduga pastilah lelaki berjubah putih itu ialah Sunan Bonang sendiri.

“Bangunlah untuk apa kau berlutut kepadaku? Bukankah sudah kau ketahui dari kitab-kitab yang kau pelajari bahwa sangat terlarang bersujud kepada sesama makhluk. Sujud hanya pantas dipersembahkan kepada Allah Yang Maha Agung!” kata lelaki berjubah putih yang tak lain memang Sunan Bonang adanya.

“Ampun! Ampunilah saya yang buta ini, tak melihat tingginya gunung di depan mata, ampunkan saya…!”, rintih sang Brahmana. “lho?” Bukankah kau ingin berdebat denganku juga mau mengadu kesaktian?”, tukas Sunan Bonang. “Mana saya berani melawan Paduka, tentulah ombak angin puting-beliung yang menyerang kapal kami juga ciptaan Paduka, kesaktian Paduka tak terukur tingginya. Ilmu Paduka tak terukur dalamnya”, kata Brahmana Sakyakirti.

“Kau salah, saya tidak bisa membuat ombak dan badai”, ujar Sunan Bonang. “Hanya Allah yang bisa membuat dan menggerakkan seluruh makhluk. Allah melindungi orang yang percaya dan mendekat kepadaNYA, dari segala macam ancaman dan niat jahat seseorang!”

Sang Brahmana merasa malu. Memang kedatangannya bermaksud jahat. Ingin membunuh Sunan Bonang melalui berkelahi kepandaian dan kesaktian.

Ternyata niatnya tak kesampaian. Apa yang telah dibacanya dalam kitab-kitab yang telah dipelajari terbukti. Bahwa barangsiapa memusuhi para waliNYA, maka Allah akan mengumumkan perang kepadanya. Menantnag Sunan Bonang sama saja dengan menantang Tuhan yang mengasihi Sunan Bonang itu sendiri.

Ia bergidik ngeri ketika teringat bagaimana dirinya terombang-ambing diterjang ombak badai, berarti Tuhan sendiri yang telah memberinya pelajaran supaya mengurungkan niatnya memusuhi Sunan Bonang. Ia percaya, jikalau niatnya dilaksanakan bukan Sunan Bonang yang kalah atau mati tapi dia sendirilah yang bakal binasa.

“Kanjeng Sunan, sudilah mendapatkan saya sebagai murid…”, kata Brahmana itu kemudian. “Jangan tergesa-gesa”, ujar Sunan Bonang. “Kau harus mempelajari dan mengenal Islam lebih banyak lagi, lebih lengkap lagi. Sebab apa yang kau pelajari hanya sebagian-sebagian saja. Jika kau sudah memahami Islam secara keseluruhan maka kau boleh pilih, tetap memeluk agama usang atau mendapatkan Islam sebagai agamamu terakhir”.

Sekali lagi sang Brahmana merasa malu. Ternyata Sunan Bonang bersifat bakir dan bijaksana, tidak memaksakan kehendak walau sudah berada di atas angin. Seandainya Sunan Bonang memperbolehkannya untuk berlutut dia akan bersujud dan menyembah sepasang kakinya.

“Bawa semua kitab-kitabmu, mari isinya kita bahas bersama-sama”, kata Sunan Bonang sembari melanjutkan langkahnya. Brahmana Sakyakirti dan murid-muridnya segera mengumpulkan kitab-kitab yang tercecer kemudian mengikuti langkah Sunan Bonang.

Pada akhirnya ia dan murid-muridnya rela masuk Islam atas kesadarannya sendiri, dan menjadi pengikutnya yang setia.

Asal usulnya
Dari aneka macam sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya Syekh Maulana Makdum Ibrahim, putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila.

Ada yang menyampaikan Dewi Condrowati itu ialah putri Prabu Kertabumi. Dengan demikian Raden Makdum ialah salah seorang Pangeran Majapahit karena ibunya ialah putri Raja Majapahit dan ayahnya ialah menantu Raja Majapahit.

Sebagai seorang Wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se-Tanah Jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa latihan atau riadha para Wali itu lebih berat daripada orang awam. Raden Makdum Ibrahim ialah calon wali yang besar, maka Sunan Ampel semenjak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin.

Disebutkan dari aneka macam literatur bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam hingga ke Tanah seberang, yaitu negeri Pasai. Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga berguru kepada para ulama besar yang banyak menetap di negeri Pasai. Seperti ulama andal tasawuf yang berasal dari Baghdad, Mesir, Arab, dan Parsi atau Iran.

Sesudah berguru di negeri Pasai Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke Jawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga populer sebagai Sunan Giri.

Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di tempat Lasem, Rembang, Tuban, dan tempat Sempadan Surabaya.

Bijak Dalam Berdakwah
Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang ialah sejenis kuningan yang ditonjolkan di penggalan tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu di indera pendengaran penduduk setempat.

Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu. Beliau ialah seorang Wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga apabila dia bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi para pendengarnya.

Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang niscaya banyak penduduk yang tiba ingin mendengarkannya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin berguru membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja fatwa agama Islam kepada mereka.

Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim ialah tembang yang berisikan fatwa agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan.

Murid-murid Raden Makdum Ibrahim sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara, Surabaya, maupun Madura. Karena dia sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang.

Karya Sastra
Beliau juga membuat karya sastra yang disebut Suluk. Hingga kini karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.

Suluk berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa” artinya menempuh jalan (tasawuf) atau tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasa disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk. Sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut Wirid.

Di bawah ini ialah Suluk karya Sunan Bonang yang disebut Suluk Wragul.

Dhandhanggula
Sunan Bonang
Wragul 1
Berang-berang, jikalau diteliti ini raga
Belum ketemu hakikatnya
Ada atau tidakkah ia
Sebenarnya saya ini siapa
Impian beraneka ragam
Kalau dipikirkan akhirnya menyedihkan
Yang tidak mungkin banyak sekali
Segala wujud di semesta ini
Tak putus-putus sama sekali

Wragul 2
Maka dengarkanlah perlambang ini
Ada simpanse hitam sedang berdiri
Di tepi sungai
Tertawa keras tak kepalang
Kepada berang-berang yang mencarai makan
Siang dan malam
Terus tanpa kesudahan
Tak ingat bahwa ia diciptakan Tuhan
Yang diingat hanya makanan
Tanpa mempedulikan
Bahaya mengancam

Wragul 3
Dilahapnya apa saja yang ia dapatkan
Tidaklah ia memperhatikan
Tuhan Yang Mahaagung yang menciptakan
Mustahil Ia tak sanggup memberi makan
Dari kehidupan hingga kematian
Apa pun saja dikodratkan
Telah disesuaikan
Ulat dalam watu pun diberi santunan
Maka jangan hanya suntuk mencari makan

Kuburnya Ada Dua
Sunan Bonang sering berdakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia pada ketika berdakwah di Pulau Bawean.

Berita segera disebar ke seluruh Tanah Jawa. Para murid berdatangan dari segala penjuru untuk berduka cita dan memberikan penghormatan yang terakhir.

Murid-murid yang berada di Pulau Bawean hendak memakamkan mayat dia di pulau Bawean. Tetapi murid-murid yang berasal dari Madura dan Surabaya menginginkan mayat dia dimakamkan dekat ayahandanya yaitu Sunan Ampel di Surabaya. Dalam hal memberikan kain kafan pembungkus mayat mereka pun tak mau kalah. Jenazah yang sudah dibungkus kain kafan milik orang Bawean masih ditambah lagi dengan kain kafan dari Surabaya.

Pada malam harinya, orang-orang Madura dan Surabaya menggunakan ilmu sirep untuk membikin ngantuk orang-orang Bawean dan Tuban. Lalu mengangkut mayat Sunan Bonang ke dalam kapal dan hendak dibawa ke Surabaya. Karena tindakannya tergesa-gesa, kain kafan mayat itu tertinggal satu.

Kapal layar segera bergerak ke arah ke Surabaya. Tetapi ketika berada di perairan Tuban tiba-tiba kapal yang digunakan mengangkut jenazahnya tidak bisa bergerak, sehingga terpaksa mayat Sunan Bonang dimakamkan di Tuban yaitu di sebelah barat Masjid Jami’ Tuban.

Sementara kain kafan yang ditinggal di Bawean ternyata juga ada jenazahnya. Orang-orang Bawean pun menguburkannya dengan penuh hikmat.

Dengan demikian ada dua mayat Sunan Bonang. Inilah karomah atau kelebihan yang diberikan Allah kepada beliau. Dengan demikian tak ada permusuhan di antara murid-muridnya.

Sunan Bonang wafat pada tahun 1525. Makam yang dianggap orisinil ialah yang berada di kota Tuban sehingga hingga kini makam itu banyak diziarahi orang dari segala penjuru Tanah Air.



5. Sunan Kalijaga

Diusir Dari Kadipaten

Sunan Kalijaga itu aslinya berjulukan Raden Said. Putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta. Tumenggung Wilatikta seringkali disebut Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk agama Islam.

Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang pertentangan dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak.

Gelora jiwa muda Raden Said seakan meledak-ledak manakala melihat praktik oknum pejabat Kadipaten Tuban di ketika menarik pajak pada penduduk atau rakyat jelata. Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan adanya animo kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk persediaan menghadapi animo panen berikutnya sudah disita para penarik pajak.

Walau Raden Said putra seorang aristokrat dia lebih menyukai kehidupan yang bebas, yang tidak terikat oleh adat istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga paling atas. Justru karena pergaulannya yang supel itulah dia banyak mengetahui seluk beluk kehidupan rakyat Tuban.

Niat untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahami posisi ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niat itu tak pernah padam. Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di dalam kamarnya sembari mengumandangkan ayat-ayat suci Al Qur’an maka kini dia keluar rumah.

Di ketika penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Said mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke Majapahit. Bahan masakan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sangat membutuhkannya. Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan mereka.

Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang mendapatkan rezeki yang tak diduga-duga. Walaupun mereka tak pernah tahu siapa gerangan yang memberikan rezeki itu, alasannya Raden Said melakukannya di malam hari secara sembunyi-sembunyi.

Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan turun dari langit itu. Penjaga Kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-kebit, soalnya makin hari barang-barang yang hendak disetorkan ke pusat kerajaan Majapahit itu makin berkurang.

Ia ingin mengetahui siapakah pencuri barang hasil bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah rumah, tak jauh dari gudang Kadipaten.

Dugaannya benar, ada seseorang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip penjaga gudang itu memperhatikan pencuri itu. Dia hampir tak percaya, pencuri itu ialah Raden Said, putra junjungannya sendiri.

Untuk melaporkannya sendiri kepada Adipati Wilatikta ia tak berani. Kawatir dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua orang saksi dari sang Adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil hasil bumi rakyat yang tersimpan di gudang.

Raden Said tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal ketahuan. Ketika ia hendak keluar dari gudang sambil membawa bahan-bahan masakan tiga orang prajurit Kadipaten menangkapnya beserta barang bukti yang dibawanya. Raden Said dibawa ke hadapan ayahnya.

Adipati Wilatikta murka melihat perbuatan anaknya itu. Raden Said tidak menjawab untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang hendak disetorkan ke Majapahit itu.

Tapi untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman, karena kejahatan mencuri itu gres pertama dilakukannya maka dia hanya mendapat sanksi cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa hari, tak boleh keluar rumah. Jerakah Raden Said atas sanksi yang sudah diterimanya?

Sesudah keluar dari sanksi dia benar-benar keluar dari lingkungan istana. Tak pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya. Apa yang dilakukan Raden Said selanjutnya?

Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam dan kemudian merampok harta orang-orang kaya di Kabupaten Tuban. Terutama orang kaya yang pelit dan para pejabat Kadipaten yang curang.

Harta hasil rampokan itupun diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang menderita lainnya. Tapi ketika perbuatannya ini mencapai titik jenuh ada saja orang yang bermaksud mencelakakannya.

Ada seorang pemimpin perampok sejati yang mengetahui agresi Raden Said menjarah harta pejabat kaya, kemudian pemimpin rampok itu mengenakan pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan juga mengenakan topeng mirip topeng Raden Said juga.

Pada suatu malam, Raden Said yang gres saja menuntaskan shalat Isya’ mendengar jerit tangis para penduduk desa yang kampungnya sedang dijarah perampok.

Dia segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu mengetahui kedatangan Raden Said kawanan perampok itu segera berhamburan melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang asyik memperkosa seorang gadis cantik.

Raden Said mendobrak pintu rumah si gadis yang sedang diperkosa. Di dalam sebuah kamar dia melihat seseorang berpakaian mirip dirinya, juga mengenakan topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembali. Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis itu.

Raden Said berusaha menangkap perampok itu. Namum pemimpin rampok itu berhasil melarikan diri. Mendadak terdengar bunyi kentongan dipukul bertalu-talu, penduduk dari kampung lain berdatangan ke tempat itu. Pada ketika itulah si gadis yang gres diperkosa perampok tadi menghamburkan diri dan menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden Said pun jadi panik dan kebingungan. Para cowok dari kampung lain menerobos masuk dengan senjata terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa.

Kepala desa yang merasa ingin tau mencoba membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang kepala desa jadi terbungkam.

Sama sekali tak disangkanya bahwa perampok itu ialah putra junjungannya sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat pada ketika itu. Raden Said dianggap perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa ialah bukti kuat dan saksi hidup atas kejadian itu.

Sang kepala desa masih berusaha menutup malu junjungannya. Diam-diam membawa Raden Said ke istana Kadipaten Tuban tanpa diketahui orang banyak. Tentu saja sang Adipati menjadi murka. Raden Said yang selama ini selalu merasa sayang dan selalu membela anaknya kali ini juga naik pitam. Raden Said diusir dari wilayah Kadipaten Tuban.

“Pergi dari Kadipaten Tuban ini! Kau telah mencoreng nama baik keluargamu sendiri! Pergi! Jangan kembali sebelum kau sanggup menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten Tuban ini dengan ayat-ayat Al Qur’an yang sering kau baca di malam hari!”

Sang Adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Said yang diharapkan sanggup menggantikan kedudukannya selaku Adipati Tuban ternyata telah menutup kemungkinan kearah itu. Sirna sudah segala harapan sang Adipati.

Hanya ada satu orang yang tak sanggup mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden Said, yang yakin bahwa Raden Said itu berjiwa higienis luhur dan sangat tidak mungkin melaksanakan perbuatan keji. Dewi Rasawulan yang sangat mencintai kakaknya itu merasa kasihan, tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya dia meninggalkan istana Kadipaten Tuban untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang.

Mencari Guru Sejati
Kemanakah Raden Said setelah diusir dari Kadipaten Tuban? Ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap di hutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun dia menjadi perampok budiman. Mengapa disebut perampok budiman? Karena hasil rampokan itu tak pernah dimakannya. Seperti dulu, selalu diberikan kepada fakir miskin.

Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya yang kikir, tidak menyantuni rakyat jelata, dan tidak mau membayar zakat.

Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya sebagai Brandal Lokajaya.

Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat di hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal Lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa sebatang tongkat yang gagangnya berkilauan. Terus diawasinya orang renta berjubah putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu jatuh tersungkur.

Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada bunyi tangis dari mulutnya. Raden Said pada ketika itu sedang mengamat-amati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, mirip emas.

Raden Said heran melihat orang itu menangis. Segera diulurkannya kembali tongkat itu,”Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan”.

“Bukan tongkat ini yang kutangisi,” ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput di telapak tangannya. “Lihatlah! Aku telah berbuat dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut ketika saya jatuh tersungkur tadi”.

“Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa?”, tanya Raden Said heran. “Ya, memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa suatu keperluan. Andaikata kucabut guna masakan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk suatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa!”, jawab lelaki itu.

Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang mengandung nilai dogma itu. “Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan ini?” “Saya menginginkan harta”, “Untuk apa?” “Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita”. “Hem, sungguh mulia hatimu, sayang… caramu mendapatkannya yang keliru” “Orang tua… apa maksudmu?” “Boleh saya bertanya anak muda?”, desah orang renta itu. “Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar?”

“Sungguh perbuatan bodoh,” sahut Raden Said. “Hanya menambah kotor dan busuk pakaian itu saja”.

Lelaki itu tersenyum. “Demikian pula amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang didapat secara haram, merampok atau mencuri, itu sama halnya mencuci pakaian dengan air kencing”.

Raden Said tercekat. Lelaki itu melanjutkan ucapannya,”Allah itu ialah zat yang baik, hanya mendapatkan amal dari barang yang baik atau halal”.

Raden Said makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam lubuk hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama ini.

Dipandangnya sekali lagi wajah lelaki berjubah putih itu. Agung dan berwibawa namun mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka dan tertarik pada lelaki berjubah putih itu.

“Banyak hal yang terkait dalam usaha mengentas kemiskinan dan penderitaan rakyat ketika itu. Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi derma makan dan uang kepada para penduduk miskin. Kau harus memperingatkan para penguasa yang zalim biar mau berubah caranya memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus sanggup membimbing rakyat biar sanggup meningkatkan taraf kehidupannya!”.

Raden Said makin terpana, ucapan mirip itulah yang didambakannya selama ini. “Kalau kau mau kerja keras, dan hanya ingin bersedekah dengan cara yang gampang maka ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu!”

Berkata demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang pohon aren. Seketika pohon itu bermetamorfosis emas seluruhnya. Sepasang mata Raden Said terbelalak. Dia ialah seorang cowok sakti, banyak ragam pengalaman yang telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah dipelajarinya. Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu sihir, kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia niscaya sanggup mengatasinya.

Tapi, setelah ia mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap masih menjadi emas. Berarti orang itu tidak menggunakan sihir. Ia benar-benar merasa heran dan penasaran. Ilmu apakah yang telah dipergunakan orang itu sehingga bisa merubah pohon aren menjadi emas?

Selama beberapa ketika Raden Said terpukau di tempatnya berdiri. Dia mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar bermetamorfosis emas seluruhya. Ia ingin mengambil buah aren yang telah bermetamorfosis emas berkilauan itu. Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden Said. Pemuda itu terjerembab ke tanah. Roboh dan pingsan.

Ketika ia sadar, buah aren yang rontok itu telah berubah lagi menjadi hijau mirip aren-aren lainnya. Raden Said bangun berdiri, mencari orang berjubah putih tadi. Tapi yang dicarinya sudah tak ada di tempat.

Ucapan orang renta itu masih terngiang di telinganya. Tentang bersedekah dengan barang haram yang disamakan dengan mencuci pakaian dengan air kencing. Tentang aneka macam hal yang terkait dengan upaya memberantas kemiskinan.

Raden Said mengejar orang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat akhirnya dia sanggup melihat bayangan orang itu dari kejauhan.

Sepertinya santai saja orang itu melangkahkan kakinya, tapi Raden Said tak pernah bisa menyusulnya. Jatuh bangun, terseok-seok dan berlari lagi, demikianlah, setelah tenaganya terkuras habis dia gres hingga di belakang lelaki berjubah putih itu.

Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan karena kehadiran Raden Said melainkan di depannya terbentang sungai yang cukup lebar. Tak ada jembatan, dan sungai itu sepertinya dalam, dengan apa dia harus menyeberang.

“tunggu… “, ucap Raden Said ketika melihat orang renta itu hendak melangkahkan kakinya lagi. “Sudilah Tuan mendapatkan saya sebagai murid…”, pintanya. “Menjadi muridku?”, tanya orang itu. “Mau berguru apa?” “Apa saja asal Tuan mendapatkan saya sebagai murid…” “Berat, berat sekali anak muda, bersediakah kau mendapatkan syarat-syaratnya?” “Saya bersedia…”

Lelaki itu kemudian menancapkan tongkatnya di tepi sungai. Raden Said diperintahkan menungguinya. Tak boleh beranjak dari tempat itu sebelum lelaki itu kembali menemuinya. Raden Said bersedia mendapatkan syarat ujian itu.

Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang mata Raden Said terbelalak heran, lelaki itu berjalan di atas air bagaikan berjalan di daratan saja. Kakinya tidak berair terkena air. Ia semakin yakin bahwa calon gurunya itu ialah seorang lelaki berilmu tinggi, waskita dan mungkin saja golongan para wali.

Setelah lelaki itu hilang dari pandangan Raden Said, cowok itu duduk bersila dia teringat suatu kisah asing yang dibacanya di dalam Al Qur’an yaitu kisah Ashabul Kahfi, maka ia segera berdoa kepada Tuhan supaya ditidurkan mirip para cowok di goa Kahfi ratusan tahun silam.

Doanya dikabulkan. Raden Said tertidur dalam samadinya selama tiga tahun. Akar dan rerumputan telah merambati sekujur tubuhnya dan hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.

Setelah tiga tahun lelaki berjubah putih itu tiba menemui Raden Said. Tapi Raden Said tak bisa dibangunkan. Barulah setelah mengumandangkan azan, cowok itu membuka sepasang matanya.

Tubuh Raden Said dibersihkan, diberi pakaian gres yang bersih. Kemudian dibawa ke Tuban. Mengapa ke Tuban? Karena Lelaki berjubah putih itu ialah Sunan Bonang. Raden Said kemudian diberi pelajaran agama sesuai dengan tingkatannya, yaitu tingkat para waliullah. Di kemudian hari Raden Said populer sebagai Sunan Kalijaga.

Kalijaga artinya yang menjaga sungai. Karena dia pernah bertapa di tepi sungai. Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga ialah penjaga aliran kepercayaan yang hidup di masa itu. Dijaga maksudnya supaya tidak membahayakan ummat, melainkan diarahkan kepada fatwa Islam yang benar.

Ada juga yang mengartikan legenda pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi selalu membawa tongkat atau pegangan hidup, itu artinya Sunan Bonang selalu membawa agama, membawa dogma sebagai penunjuk jalan kehidupan.

Raden Said kemudian disuruh menunggui tongkat atau agama di tepi sungai. Itu artinya Raden Said diperintah untuk terjun ke dalam kancah masyarakat Jawa yang banyak mempunyai aliran kepercayaan dan masih berpegang pada agama usang yaitu Hindu dan Budha.

Sunan Bonang bisa berjalan di atas air sungai tanpa amblas ke dalam sungai. Bahkan sedikit pun ia tak terkena percikan air sungai. Itu artinya Sunan Bonang sanggup bergaul dengan masyarakat yang berbeda agama tanpa kehilangan identitas agama yang dianut oleh Sunan Bonang sendiri yaitu Islam.

Kerinduan Seorang Ibu
Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta mirip kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usaha Adipati Tuban menangkap para perampok yang mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika berguncang.

Kebetulan ketika ditangkap oleh para prajurit Tuban, kepala perampok itu mengenakan pakaian dan topeng yang persis dikenakan Raden Said. Rahasia yang selama ini tertutup rapat terbongkarlah sudah. Dari ratifikasi perampok itu tahulah Adipati Tuban bahwa Raden Said tidak bersalah.

Ibu Raden Said menangis sejadi-jadinya. Dia benar-benar telah menyesal mengusir anak yang sangat disayanginya itu. Sang Ibu tak pernah tahu bahwa anak yang didambakannya itu bertahun-tahun kemudian sudah kembali ke Tuban. Hanya saja tidak pribadi ke Istana Kadipaten Tuban, melainkan ke tempat tinggal Sunan Bonang.

Untuk mengobati kerinduan sang Ibu. Tidak jarang Raden Said mengerahkan ilmunya yang tinggi. Yaitu membaca Qur’an dari jarak jauh kemudian suaranya dikirim ke istana Tuban.

Suara Raden Said yang merdu itu benar-benar menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten. Bahkan mengguncangkan isi hati Adipati Tuban dan isterinya. Tapi Raden Said, masih belum menampakkan diri. Banyak kiprah yang masih dikerjakannya. Diantaranya menemukan adiknya kembali. Pada akhirnya, dia kembali bersama adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak terkirakan betapa bahagianya Adipati Tuban dan isterinya mendapatkan kedatangan putra-putri yang sangat dicintainya itu.

Karena Raden Said tidak bersedia menggantikan kedudukan ayahnya, akhirnya kedudukan Adipati Tuban diberikan kepada cucunya sendiri yaitu putra Dewi Rasawulan dan Empu Supa.

Raden Said meneruskan pengembaraannya. Berdakwah atau membuatkan Islam di Jawa Tengah hingga Jawa Barat. Beliau sangat bakir dan bijaksana dalam berdakwah sehingga sanggup diterima dan dianggap sebagai Guru se Tanah Jawa. Dari petani, pejabat, pedagang, aristokrat dan raja-raja sanggup mendapatkan fatwa Sunan Kalijaga yang berciri khas Jawa namun tetap Islami. Dalam usia lanjut dia menentukan Kadilangu sebagai tempat tinggalnya yang terakhir. Hingga kini dia dimakamkan di Kadilangu, Demak. Semoga amal perjuangannya diterima di sisi Allah. Amin.

Sunan Bayat dan Syekh Domba (Murid Sunan Kalijaga)
Murid-murid Sunan Kalijaga banyak sekali, mirip Sunan Bayat, Sunan Geseng, Ki Ageng Sela, Empu Supa, dan lain-lain. Di sini kami kisahkan ihwal Sunan Bayat dan Syekh Domba.

Bupati Semarang pada waktu itu berjulukan Ki Pandhanarang. Ia populer sebagai seorang bupati yang kaya raya. Disamping sehari-harinya dikenal sebagai seorang bupati, ia juga berbakat sebagai seorang pedagang. Nah, karena mentalnya mental pedagang maka dia suka keluyuran keluar masuk pasar setiap pagi.

Ia pintar mengambil laba dari setiap usahanya. Ia berdagang emas, intan, permata hingga sapi, kerbau, dan kambing. Kekayaannya pada ketika itu sungguh diatas rata-rata kekayaan pejabat. Istrinya banyak, anaknya banyak dan relasinya juga banyak sehingga kedudukannya luar biasa kuatnya. Tak ada seorang pun yang bisa menggoyangkannya bahkan pejabat di tingkat pusat sekalipun. Sayang ada satu sifatnya yang tak baik yaitu kikirnya setengah mati, kikir alias bakhil alias cethil bin medhit!.

Ia mempunyai beberapa kendaraan bagus dan jempolan. Pada jaman kini bisa sekelas Jaguar, Mercedes, Ferrari, ataupun BMW, namun pada ketika itu ialah seekor kuda terbaik dari Sumbawa. Nah, karena kuda dan sapinya banyak maka tiap pagi ia membutuhkan berkarung-karung rumput segar untuk santapan kuda dan sapinya.

Suatu ketika di animo kemarau, para pegawainya yang bertugas mencari rumput agak terlambat menyediakan santapan kudanya. Nah, pada ketika itu datanglah seorang penjual rumput memasuki halaman rumahnya. Umumnya pada waktu itu sepikul rumput berharga dua puluh lima ketheng. Tapi ia menawarnya dengan harga lima belas ketheng. Anehnya tanpa berbelit-belit penjual rumput itu memberikannya begitu saja.

Esoknya penjual rumput bercaping lebar itu tiba lagi. Kali ini ia tiba lebih pagi dengan membawa rumput yang lebih segar dari kemarin. Bertanya Ki Pandhanarang,”Pak Tua, sepagi ini kau sudah membawa rumput sesegar ini. Darimana kau memperolehnya?”. “Dari Gunung Jabalkat, Tuan…”, jawab si penjual rumput.

Ki Pandhanarang merasa heran, alasannya Gunung Jabalkat ialah tempat yang sangat jauh sekali. Setelah rumput itu dibayar mirip harga kemarin orang itu tidak segera beranjak pergi.

“Hei Pak Tua, apalagi yang kau tunggu?”. “Hamba ingin minta sedekah Tuan”. Ki Pandhanarang merogoh sakunya, tanpa menoleh ia lemparkan seketheng di hadapan kaki si penjual rumput kemudian ia beranjak pergi. Tapi si penjual rumput buru-buru maju menghadang. “Hamba tidak minta sedekah uang, yang hamba minta ialah bedhug berbunyi di Semarang”.

Ki Pandhanarang mendelik penasaran. Minta bedhug berbunyi di Semarang? Itu sama halnya dengan permintaan mendirikan Masjid, dan membuatkan agama Islam di Semarang. Ah, jangankan berdakwah wong shalat lima waktu saja sudah enggan melaksanakannya.

“Kau jangan minta yang aneh-aneh Pak Tua. Sudah ambil uang itu dan cepat pergi dari sini”. “Hamba tidak butuh uang. Dapatkah uang dan harta menjamin keselamatan kita di alam abadi kelak?”. Ki Pandhanarang merah wajahnya menunjukan marah. “Hai Pak Tua! Jangan menyepelekan uang dan harta. Dengan uang dan harta itulah seseorang terangkat derajatnya dan dihormati semua orang”.

Dengan beraninya penjual rumput itu berkata,”Hamba kira tidak! Justru orang yang menjadi budak uang dan harta akan menjadi orang yang hina dina dan tidak berbudi pekerti karena terbiasa menghalalkan segala cara!”

“Pak tua! Bicaramu makin tak karuan, apakah dengan pekerjaanmu sebagai penjual rumput itu kau merasa mulia. Apakah segala kebutuhan hidupmu, anak istrimu tercukupi?”

“Soal harta dan kebutuhan hidup hamba selalu tulus terhadap apa yang diberikan Tuhan. Kalau Cuma menginginkan emas permata, sekali cangkul hamba bisa setiap ketika mengeruknya dari dalam tanah”

“huh! Omonganmu semakin sombong saja pak Tua! Coba buktikan omong besarmu itu! Jika memang terbukti saya akan berguru kepadamu, namun jikalau kau hanya berkoar atau main sulap maka kau akan kuhukum dengan sanksi seberat-beratnya!”

Ki Pandhanarang kemudian menyuruh pembantunya mengambil cangkul dan diberikan kepada si penjual rumput. “Hayo! Buktikan ucapanmu!”

Dengan tenang penjual rumput itu mendapatkan cangkul. Lalu diayunkannya pelan, dan ketika ditarik dari dalam tanah keluarlah bongkahan emas permata. Semua orang terbelalak takjub melihat kejadian itu. Ki Pandhanarang yang mata duitan itu berdiri terpaku di tempatnya sampai-sampai ia tak menyadari lelaki penjual rumput itu sudah pergi meninggalkan halaman rumahnya.

Ki Pandhanarang gres sadar bahwa ia berhadapan dengan orang berilmu tinggi. Maka segera dikejarnya kemana orang itu pergi. Sebagai seorang lelaki ia ingin memenuhi janjinya untuk berguru kepada si penjual rumput. Setelah mengerahkan segenap tenaganya barulah is berhasil menyusul lelaki penjual rumput itu.

“Buat apa kau menyusulku? Masih kurangkah bongkahan emas permata tadi bagimu?” tegur si penual rumput itu. “Bukan, bukan untuk itu saya kemari”. “Lalu apa maumu?” “Saya ingin berguru kepada Tuan” “Berguru? Mau berguru apa, menimbun uang dan harta?”. “Bukan! Saya ingin memperdalam agama Islam sehingga nantinya sanggup saya gunakan untuk membimbing rakyat Semarang”. “Jadi kau mau memenuhi permintaanku untuk membunyikan bedhug di Semarang?”. “Benar Tuan!”. “Berkorban dengan segala harta dan jiwa?”. “Saya bersedia…”. “Kalau begitu kau harus menjalankan ibadah selama hidupmu, jangan hingga teledor menegakkan shalat lima waktu. Kau harus beramal, dirikan masjid dan memberikan hartamu kepada para fakir miskin dan orang-orang yang berhak menerimanya. Jangan sekali-kali kau terpikat oleh harta kecuali hanya sekedarnya saja sebagai bekal ibadah. Orang berguru itu harus meninggalkan rumah, maka jikalau segala hal yang kupesan tadi sudah kau laksanakan segeralah kau susul saya ke Gunung Jabalkat”.

“Wahai Tuan yang bakir dan bijaksana. Ijinkanlah saya mengetahui siapakah gerangan Tuan ini sesungguhnya?” “Aku ialah Sunan Kalijaga yang diperintah para dewan wali untuk mengajakmu bergabung sebagai anggota Walisongo, menggantikan Syekh Siti Jenar yang telah dieksekusi mati”.

Mendengar nama besar Sunan Kalijaga serta merta Ki Pandhanarang berlutut untuk menghormat, namun seketika itu juga Sunan Kalijaga lenyap dari pandangan matanya.

Ki Pandhanarang pulang ke rumahnya. Kini ia berubah total. Dulu pelit kini menjadi gemar memberi sekali. Suka bersedekah. Ia juga yang memprakarsai dan menanggung biaya untuk pembangunan masjid di Semarang. Ia juga yang menentukan kayu terbaik beserta kulit sapi yang sangat bagus untuk digunakan sebagai bedhug.

Ia membayar zakat sebagaimana keharusannya setiap muslim yang diwajibkan. Ia menyantuni anak yatim dan fakir miskin. Semua itu dilakukan dengan tulus karena Allah. Bukan sekedar untuk publikasi biar namanya terkenal. Setelah tiba saatnya ia bermaksud menyusul Sunan Kalijaga di Gunung Jabalkat.

Salah seorang dari istrinya memaksa hendak ikut ke Gunung Jabalkat mendampingi dirinya. “Baiklah, kau boleh ikut tapi jangan membawa harta. Itulah pesan guruku, harta hanya menjadi penghalang bagi tujuan luhur impian kita”.

Keduanya kemudian berpakaian serba putih. Keduanya berjalan kaki ke Gunung Jabalkat. Ki Pandhanarang berjalan di muka dengan membawa tongkat biasa. Istrinya berjalan di belakang dengan membawa tongkat bambu yang di dalam lubangnya diisi dengan emas dan permata.

Ki Pandhanarang yang berjalan di depan dicegat kawanan rampok, namun karena ia tidak membawa harta ia segera dilepaskan begitu saja. Sebaliknya, Nyai Pandhanarang dicegat tiga perampok. Tongkatnya dirampas, isinya dikeluarkan dan dijadikan rebutan. Tiga perampok itu bersorak kegirangan setelah mendapat emas dan permata milik Nyai Pandhanarang. Sementara Nyai Pandhanarang menangis tersedu-sedu. Ia berteriak-teriak memanggil suaminya yang berjalan jauh di depan.

“Kakangmas…! Apakah kau sudah lupa pada istrimu? Ini ada orang tiga berbuat salah”. Konon karena kejadian itulah, kini tempat kejadian itu dinamakan SALATIGA.

Akhirnya Nyai Pandhanarang sanggup menyusul suaminya. Suaminya tidak kaget mendengar penuturan istrinya karena ia sudah tahu bahwa semenjak berangkat dari rumah, istrinya memang membawa emas dan permata. “Itulah, kau tidak mematuhi saran guruku. Harta hanya menjadi penghalang tujuan luhur kita. Sekarang kau berjalanlah di muka”.

Nyai Pandhanarang kemudian berjalan di muka. Tidak berapa usang kemudian Ki Pandhanarang dicegat seorang perampok yang dikenal sebagai Ki Sambangdalan. “Serahkan hartamu atau kau akan kuhajar hingga babak belur!?”, demikian ancam Ki Sambangdalan. “Aku tidak membawa harta!” jawab Ki Pandhanarang. Perampok itu tidak percaya, kemudian ia merampas tongkat Ki Pandhanarang. Tentu saja tongkat itu tidak ada emasnya karena hanya terbuat dari kayu biasa. “Dimana kau sembunyikan hartamu?” hardik Ki Sambangdalan. “Aku tidak membawa harta!”, jawab Ki Pandhanarang sambil terus melangkah. Anehnya Ki Sambangdalan membiarkan saja korbannya berjalan. Ia hanya berani mengancam saja tapi tidak berani memukuli Ki Pandhanarang.

Ki Sambangdalan terus mengikuti kemana Ki Pandhanarang berjalan sambil terus mengeluarkan ancaman. Lama-lama Ki Pandhanarang bosan dan risih mendengar ancaman Ki Sambangdalan. Maka ia berkata,”Kau ini bengal, keras kepala mirip domba saja!”

Aneh, seketika kepala Ki Sambangdalan bermetamorfosis kepala seekor domba atau kambing. Tapi ia tidak menyadarinya. Ia terus mengukuti kemana Ki Pandhanarang pergi. Suatu ketika keduanya hingga di tepi sungai. Melihat air Ki Sambangdalan merasa risih, ia takut terkena basah, kemudian ia melihat bayangannya sendiri di air jernih maka menjeritlah ia. “Waduuuuhhh! Ampuuuuuuun, mengapa kepalaku bermetamorfosis domba??”. “Itu karena kesalahanmu sendiri”, ujar Ki Pandhanarang. “Kembalikan ujud kepalaku mirip semula…”, pinta Ki Sambangdalan. Ki Pandhanarang tidak menjawab. Ki Sambangdalan menjadi takut, maka ia terus ikut kemanapun Ki Pandhanarang pergi. Perjalanan pun hingga di tempat tujuan, yaitu Gunung Jabalkat. Tapi pada ketika itu Sunan Kalijaga sedang berdakwah ke luar daerah. Ki Pandhanarang berujar bahwa jikalau Ki Sambangdalan ingin menjadi insan normal kembali, maka ia harus bertirakat dan bertobat. Untuk menebus dosanya Ki Sambangdalan harus mengisi jun (padasan) dengan air dibawah bukit. Jun itu tidak tertutup sehingga apabila Ki Sambangdalan hingga di atas bukit airnya sudah habis. Tapi karena ingin kepalanya kembali mirip semula maka ia tidak putus asa, tiap hari dilakukannya pekerjaan itu sambil beristighfar, tobat minta ampun kepada Tuhan.

Pada suatu hari Sunan Kalijaga tiba ke tempat itu. Mereka bertiga segera duduk bersimpuh. Secara asing kepala Ki Sambangdalan kembali mirip ke ujud semula. Jun tempat wudhu tiba-tiba penuh dengan air tanpa ada yang mengisinya. Ketiga orang itu akhirnya berguru dengan tekun ilmu syariat dan hakikat agama Islam atas bimbingan Sunan Kalijaga yang diberi gelar Guru se-Tanah Jawa.

Akhirnya mereka sanggup mencapai tataran yang tinggi berkat ketekunan dan kesabarannya. Ki Pandhanarang menjadi seorang wali dan disebut dengan gelar Sunan Bayat karena membuatkan agama Islam di tempat Bayat. Sementara Ki Sambangdalan juga menjadi seorang wali dan disebut sebagai Syekh Domba karena kepalanya pernah menjadi domba.

Sunan Kalijaga memang sengaja menyadarkan Bupati Semarang tersebut untuk menjadi pengganti Syekh Siti Jenar yang telah dieksekusi mati karena dianggap sesat dan berlawanan dengan fatwa Walisongo. Setelah menjadi wali Ki Pandhanarang atau Sunan Bayat mempunyai beberapa karomah, diantaranya ialah pada suatu ketika ia menyamar sebagai pelayan tukang pembuat masakan ringan manis srabi. Ikut berdagang ke pasar sambil membawakan kayu bakar. Pada suatu hari pasar sangat ramai banyak orang membeli masakan ringan manis srabi, karena laku kayunya habis. Majikannya marah-marah karena Sunan Bayat tidak membawa kayu yang banyak sehingga tidak cukup digunakan melayani para pembeli.

“Kau teledor! Sekarang bagaimana? Apakah tanganmu itu sanggup kau gunakan sebagai pengganti kayu bakar?”, hardik si majikan.

Tanpa pikir panjang lagi Sunan Bayat memasukkan tangannya ke dalam tungku dapur dan tangan itu menyala-nyala mengeluarkan api. Gemparlah hari itu. Banyak orang melihat dengan kepala mata mereka sendiri, tangan Sunan Bayat yang masuk ke dalam tungku itu mengeluarkan api. Dan banyak pula orang yang membeli masakan ringan manis srabi.

Setelah tahu bahwa pelayannya ialah Sunan Bayat mantan bupati Semarang maka penjual masakan ringan manis srabi itu minta ampun berkali-kali, akhirnya suami istri penjual masakan ringan manis srabi itu menjadi pengikut Sunan Bayat yang setia.



6. Sunan Kudus

Asal-usul

Menurut salah satu sumber, Sunan Kudus ialah putra Raden Usman haji bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Ada yang menyampaikan letak Jipang Panolan ini sebelah utara kota Blora. Di dalam Babad Tanah Jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Demak Bintoro yang berperang melawan pasukan Majapahit. Sunan Ngudung selaku senopati Demak berhadapan dengan Raden Husain atau Adipati Terung dari Majapahit. Dalam pertempuran yang sengit dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung gugur sebagai jagoan sahid. Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian digantikan oleh Sunan Kudus yaitu putranya sendiri yang berjulukan orisinil Ja’far Sodiq.

Pasukan Demak hampir saja menderita kekalahan, namun melalui siasat Sunan Kalijaga, dan derma pusaka (persenjataan) dari Raden Patah yang dibawa dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhirnya berimbang. Keadaan ini tentu bukan semata-mata berkat siasat Sunan Kalijaga dan derma pusaka Raden Patah, tetapi karena izin Allah, siasat itu sanggup merubah keadaan peperangan itu.

Selanjutnya melalui jalan diplomasi yang dilakukan Patih Wanasalam dan Sunan Kalijaga, peperangan itu sanggup dihentikan. Adipati Terung yang memimpin lasykar Majapahit diajak tenang dan bergabung dengan Raden Patah yang ternyata ialah kakaknya sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati Terung dan pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan menggempur tentara Majapahit hingga ke belahan timur. Pada akhirnya perang itu dimenangkan oleh pasukan Demak.

Guru-gurunya
Disamping berguru agama kepada ayahnya sendiri, Raden Ja’far Sodiq juga berguru kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel.

Nama orisinil kiai Telingsing ialah The Ling Sing, dia ialah seorang ulama dari negeri Cina yang tiba ke pulau Jawa bersama Laksamana Jenderal Cheng Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah. Jenderal Cheng Hoo yang beragama Islam itu tiba ke Pulau Jawa untuk menjalin tali persahabatan dan membuatkan agama Islam melalui perdagangan.Di Jawa, The Ling Sing cukup dipanggil dengan sebutan Telingsing, dia tinggal di sebuah tempat subur yang terletak di antara sungai Tanggulangin dan Sungai Juwana sebelah timur. Di sana dia bukan hanya mengajar agama Islam, melainkan juga mengajarkan kepada para penduduk seni ukir yang indah.

Banyak yang tiba berguru seni ukir kepada Kiai Telingsing, termasuk Raden Ja’far Sodiq itu sendiri. Dengan berguru kepada ulama yang berasal dari Cina itu, Ja’far Sodiq mewarisi penggalan dari sifat positif masyarakat Cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar atau mencapai cita-cita. Hal ini besar lengan berkuasa besar bagi kehidupan dakwah Raden Ja’far Sodiq di masa selanjutnya yaitu tatkala menghadapi masyarakat yang kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.

Selanjutnya, Raden Ja’far Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.

CARA BERDAKWAH YANG LUWES
A. Strategi Pendekatan Kepada Massa

Sunan Kudus termasuk pendukung gagasan Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang menerapkan seni administrasi dakwah kepada masyarakat sebagai berikut:
Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan usang yang sukar diubah. Mereka sepakat untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan atau radikal menghadapi masyarakat yang demikian.
Bagian adat yang tidak sesuai dengan fatwa Islam tetapi gampang dirubah maka segera dihilangkan.
Tut Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk sanggup mempengaruhi bertahap dan menerapkan prinsip Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi fatwa agama Islam.
Menghindarkan konfrontasi secara pribadi atau secara keras di dalam cara menyiarkan agama Islam. Dengan prinsip mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya.
Pada akhirnya boleh saja merubah dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan fatwa Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat Islam. Kalangan umat Islam yang sudah tebal imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non muslim biar mau mendekat dan tertarik pada fatwa Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali melaksanakan fatwa Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali melaksanakan fatwa Islam secara konsekuen. Sebab dengan melaksanakan fatwa Islam secara lengkap otomatis tingkah laku dan gerak gerik mereka sudah merupakan dakwah konkret yang sanggup memikat masyarakat non muslim.

Strategi dakwah ini diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunungjati. Karena siasat mereka dalam berdakwah tak sama dengan garis yang ditetapkan oleh Sunan Ampel maka mereka disebut Kaum Abangan atau Aliran Tuban. Sedang pendapat Sunan Ampel yang didukung Sunan Giri dan Sunan Drajad disebut Kaum Putihan atau Aliran Giri.

Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda itu pada akhirnya sanggup dikompromosikan.

B. Merangkul Masyarakat Hindu
Di Kudus pada waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk kepercayaan usang dan memegang teguh adat istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Didalam masyarakat mirip itulah Ja’far Sodiq harus berjuang menegakkan agama.

Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa para pedagang asing dengan kapal besar. Sapi itu ditambatkan di halaman rumah Sunan Kudus.

Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan agama Hindu ialah binatang suci yang menjadi kendaraan para Dewa. Menyembelih sapi ialah perbuatan dosa yang dikutuk para Dewa. Lalu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus?

Apakah Sunan Kudus hendak menyembelih sapi di hadapan masyarakat yang kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus akan melukai hati rakyatnya sendiri.

Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama Islam maupun Budha dan Hindu. Setelah jumlah penduduk yang tiba bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya.

“Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai”, Sunan Kudus membuka suara. “Saya melarang sauadara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab di waktu saya masih kecil, saya pernah mengalami ketika yang berbahaya, hampir mati kehausan kemudian seekor sapi tiba menyusui saya”.

Mendengar dongeng tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum kagum. Mereka menyangka Raden Ja’far Sodiq itu ialah titisan Dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya. “Demi rasa hormat saya kepada jenis binatang yang telah menolong saya, maka dengan ini saya melarang penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih Sapi!”

Kontan para penduduk terpesona atas kisah itu. Sunan Kudus melanjutkan,”Salah satu di antara surat-surat di dalam Al Qur’an yaitu surat kedua dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah”, kata Sunan Kudus.

Masyarakat makin tertarik. Kok ada Sapi di dalam Al Qur’an, mereka jadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering tiba mendengarkan keterangan Sunan Kudus.

Demikianlah, setelah simpati itu berhasil didapatkan akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam.

Bentuk Masjid yang dibentuk Sunan Kudus pun juga tak jauh bedanya dengan candi-candi milik orang Hindu. Lihatlah Menara Kudus yang antik itu, yang hingga kini dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya. Dengan bentuknya yang mirip candi itu orang-orang Hindu merasa bersahabat dan tidak merasa takut atau segan masuk ke dalam masjid guna mendengarkan ceramah Sunan Kudus.

C. Merangkul Masyarakat Budha
Sesudah berhasil menarik umat Hindu ke dalam agama Islam hanya karena sikap toleransinya yang tinggi, yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun menara masjid mirip candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya? Memang tidak mudah, harus kreatif dan bersifat tidak memaksa.

Sesudah masjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat berwudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi arca Kepala Kebo Gumarang di atasnya. Hal ini diubahsuaikan dengan fatwa Budha “Jalan berlipat delapan” atau “Asta Sanghika Marga”, yaitu:

1. Harus mempunyai pengetahuan yang benar.
2. Mengambil keputusan yang benar.
3. Berkata yang benar.
4. Hidup dengan cara yang benar.
5. Bekerja dengan benar.
6. Beribadah dengan benar.
7. Dan menghayati agama dengan benar.

Usahanya itupun membuahkan hasil, banyak umat Budha yang penasaran, untuk apa Sunan Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat berwudhu. Sehingga mereka berdatangan ke masjid untuk mendengarkan keterangan Sunan Kudus.

D. Selamatan Mitoni
Di dalam dongeng tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.

Seperti diketahui, rakyat Jawa yang melaksanakan adat istiadat yang aneh, yang kadangkala bertentangan dengan fatwa Islam, contohnya berkirim sesaji di kuburan untuk memperlihatkan belasungkawa atau berduka cita atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selamatan neloni, mitoni, dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual itu, dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam bentuk Islami. Hal ini dilakukan oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.

Contohnya, bila seorang istri orang Jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukanlah program selamatan yang disebut mitoni sembari minta kepada ilahi bahwa bila anaknya lahir supaya tampan mirip Arjuna, jikalau anakanya perempuan supaya bagus mirip Dewi Ratih.

Adat tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan diarahkan dalam bentuk Islami. Acara selamatan boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa, melainkan bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh dibawa pulang. Sedang permintaannya pribadi kepada Allah dengan harapan bila anaknya lahir pria akan berwajah tampan mirip Nabi Yusuf, dan bila perempuan mirip Siti Mariam ibunda Nabi Isa a.s. Untuk itu sang ayah dan ibu perlu sering-sering membaca surat Yusuf dan surat Mariam dalam Al Qur’an.

Sebelaum program selamatan dilaksanakan diadakanlah pembacaan Layang Ambiya’ atau sejarah para Nabi. Biasanya yang dibaca ialah penggalan Nabi Yusuf. Hingga kini program pembacaan Layang Ambiya’ yang berbentuk tembang Asmaradana, Pucung, dan lain-lain itu masih hidup di kalangan masyarakat pedesaan.

Berbeda dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari aneka macam jenis makanan, kemudian diikrarkan (dihajatkan) oleh sang dukun atau tetua masyarakat dan setelah upacara sakral itu dilakukan sesajinya tidak boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di kuburan atau di tempat-tempat sunyi di lingkungan tuan rumah.

Ketika pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu dia mengundang seluruh masyarakat, baik yang Islam maupun yang Hindu dan Budha ke dalam Masjid. Dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus yang hendak mitoni dan bersedekah atas hamilnya sang istri selama tiga bulan.

Sebelum masuk masjid, rakyat harus membasuh kaki dan tangannya di kolam yang sudah disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau, terutama dari kalangan Budha dan Hindu. Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau terlalu mementingkan pengenalan syariat berwudhu kepada masyarakat tapi kesudahannya masyarakat malah menjauh. Apa sebabnya? Karena dogma mereka atau tauhid mereka belum terbina.

Maka pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini masyarakat tidak usah membasuh tangan dan kainya waktu masuk masjid, hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi undangannya. Di ketika itulah Sunan Kudus menyisipkan penggalan keimanan dalam agama Islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya memberikan materi dengan cukup cerdik, yaitu ketika rakyat tengah memusatkan perhatiannya kepada keterangan Sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu lama, dan dikawatirkan mereka jenuh maka Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya.

Cara tersebut kadang mengecewakan, tapi disitulah letak segi positifnya, yaitu rakyat jadi ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka tiba lagi ke Masjid, baik dengan undangan maupun tidak, karena rasa ingin tahu itu demikian besar mereka tak peduli lagi pada syarat yang diajukan Sunan Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya lebih dahulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu.

Dengan demikian Sunan Kudus berhasil menebus kesalahannya di masa lalu. Rakyat tetap menaruh simpati dan menghormatinya. Cara-cara yang ditempuh untuk mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara pribadi melalui ceramah agama maupun berkelahi kesaktian dan melalui kesenian, beliaulah yang pertama kali membuat tembang Mijil dan Maskumambang. Di dalam tembang-tembang tersebut dia sisipkan ajaran-ajaran agama Islam.

4. SUNAN KUDUS DI NEGERI MEKAH
Di dalam legenda dikisahkan bahwa Raden Jakfar Sodiq itu suka mengembara, baik ke Tanah Hindustan maupun ke Tanah Suci Mekah.

Sewaktu berada di Mekah dia menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan di sana ada wabah penyakit yang sukar diatasi. Penguasa negeri Arab mengadakan sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya.

Sudah banyak orang mencoba tak pernah berhasil. Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq mengahadap penguasa negeri itu tapi kedatangannya disambut dengan sinis.

“Dengan apa tuan melenyapkan wabah penyakit itu?” tanya sang Amir. “Dengan doa”,jawab Ja’far Sodiq singkat. “Kalau hanya doa kami sudah puluhan kali melakukannya. Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini”

“Saya mengerti, memang Tanah Arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa ada saja kekurangannya sehingga doa mereka tidak terkabulkan”, kata Jakfar Sodiq.

“Hem, sungguh berani tuan berkata demikian”, kata Amir itu dengan nada berang. “Apa kekurangan mereka?”. “Anda sendiri yang menyebabkannya”, kata Jakfar Sodiq dengan tenangnya. “Anda telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga doa mereka tidak ikhlas. Mereka berdoa hanya karena mengharap hadiah”. Sang Amir pun terbungkam atas jawaban itu.

Jakfar Sodiq kemudian dipersilakan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tidak disia-siakan. Secara khusus Jakfar Sodiq berdoa dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas di negeri Arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras secara mendadak pribadi sembuh. Bukan main senangnya hati sang Amir. Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud diberikannya kepada Jakfar Sodiq. Tapi Jakfar Sodiq menolaknya, dia hanya minta sebuah watu yang berasal dari Baitul Maqdis. Sang Amir mengijinkannya. Batu itu pun dibawa ke tanah Jawa, dipasang di pengimaman masjid Kudus yang didirikannya sekembali dari Tanah Suci.

Rakyat kota Kudus pada waktu itu masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Para Wali mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Jakfar Sodiq yang bertugas di tempat itu. Karena Masjid yang dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden Jakfar Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.

5. TUGAS SEBAGAI SENOPATI
Malam hitam pekat, udara animo kemarau terasa sangat hambar menusuk tulang. Penduduk desa Pengging yang terletak di tepi hutan, malam itu tak sanggup tidur, alasannya malam itu terdengar auman harimau sambung-menyambung, terus menerus. Para penduduk berjaga-jaga, kalau-kalau malam itu harimau yang mengaum itu akan masuk ke desa dan memangsa binatang ternak mereka.

Tapi hingga pagi tidak ada seekor harimau tampak masuk kampung. Para penduduk penasaran. Mereka beramai-ramai masuk ke dalam hutan untuk memeriksa, apakah benar di dalam hutan yang sudah mereka kenal selama ini ada harimaunya.

Dengan senjata siap di tangan mereka siap menghadapi segala kemungkinan. Di tengah hutan, bukan harimau yang mereka dapatkan, melainkan tujuh orang santri dan seorang berjubah putih yang tampak agung berwibawa. “Apakah tuan melihat harimau di sekitar hutan ini?” tanya tetua desa. “Tidak”, jawab lelaki berjubah putih itu.“Semalam kami tidur di hutan ini tapi tidak melihat seekor harimau pun”. “Aneh, semalaman kami tak sanggup tidur karena auman bunyi harimau yang terus menerus”,gunam tetua desa. “Kalau begitu namakanlah tempat ini desa Sima. Karena kau mendengar bunyi Sima (harimau) padahal tak ada Sima”, kata lelaki berjubah putih.

Tetua desa itu menurut, hingga kini tempat lelaki berjubah putih bermalam itu dinamakan desa Sima. Lelaki berjubah putih itu kemudian meneruskan perjalanannya ke Pengging untuk menemui Adipati Kebo Kenanga atau lebih dikenal sebagai Ki Ageng Pengging.

Pagi itu udara masih terasa menggigit tulang. Seiring dengan langkah lelaki berjubah putih dan tujuh orang pengikutnya yang makin mendekati ujung desa Pengging tiba-tiba di udara nampak dua ekor gagak terbang sambil mengeluarkan bunyi khasnya.

Adanya bunyi burung gagak ialah lambang kematian, berarti akan ada sosok insan yang dicabut nyawanya oleh Sang Malaikat Maut. Siapakah orang yang bakal mati hari ini? Siapa pula orang berjubah putih yang nampak agung dan berwibawa itu? Mengapa tujuh orang santri terus mengikutinya dari belakang? Apa tujuan mereka ke desa Pengging? Pengging atau Pajang pada beberapa tahun silam bukanlah sebuah desa terpencil. Pengging ialah sebuah Kadipaten yang sangat populer karena Adipati Handayaningrat yang memimpin ialah Putra Prabu Brawijaya Penguasa Majapahit.

Adipati Handayaningrat mempunyai dua orang putra lelaki. Yang pertama berjulukan Kebo Kanigara, yang kedua Kebo Kenanga. Ketika sang Adipati meninggal dunia, Kebo Kanigara mengembara tak tertangkap tangan rimbanya. Sedang Kebo Kenanga masuk Islam menjadi murid Syekh Siti Jenar. Tenggelam dalam alur faham Siti Jenar sehingga pikirannya berubah. Tak mau mengurus lagi Kadipaten warisan orang tuanya. Ia malah mengajak rakyatnya untuk hidup masuk akal sebagai petani biasa.

Sungguh mengagumkan. Hasil panen para petani Pengging kemudian tersebar ke penjuru desa lainnya. Bahkan menggetarkan dinding-dinding istana Demak Bintoro, karena Ki Ageng Pengging tak pernah sowan menghadap Sri Sultan. Dan tentu saja tak pernah menyerahkan upeti menunjukan setia dan tetap tunduk kepada Demak Bintoro.

Karena itu Raden Patah segera mengutus dua perwira utama untuk menengok Ki Ageng Pengging. “Ki Ageng”, kata utusan itu setelah tiba di hadapannya. “Sudah dua tahun Andika tidak menghadap Gusti Sultan Demak. Kami diperintahkan mengingatkan Andika, alasannya Gusti Sultan sudah sangat merindukan kehadiran Andika selaku saudaranya”.

Ki ageng Pengging menatap dua orang utusan itu dengan tajam. “Buat apa seorang petani desa menghadap Sri Sultan? Hanya bikin malu Sri Sultan saja. Hai utusan kembali-lah dan katakan kepada Sri Sultan saya tak sanggup memenuhi panggilannya. Mohonkan ampun atas sikapku ini”.

Dua orang utusan itu segera kembali ke istana Demak. Tak berapa usang kemudian Ki Ageng Pengging memanggil dalang wayang beber. Selepas shalat Isya’ dalang pun segera memainkan lakon wayangnya. Penduduk berduyun-duyun menyaksikan pertunjukan gratis itu.

Ketika hampir muncul fajar sidik di ufuk timur. Tiba-tiba istri Ki Ageng Pengging menggerang kesakitan. Ia merasa si jabang bayi akan segera lahir. Ki Ageng Pengging segera memerintahkan Ki Dalang untuk mengakhiri pertunjukannya. Orang-orang pun segera sibuk menolong istri Ki Ageng Pengging. Ternyata yang lahir ialah pria yang elok rupanya.

Ki Ageng Tingkir berkata kepada adik seperguruannya. “Adimas, karena anakmu lahir bertepatan dengan pagelaran wayang beber maka anakmu kuberi nama Karebet”.

“Terima kasih atas kesediaan memberi nama anak ini”, ujar Ki Ageng Pengging.“Mudah-mudahan dia sanggup menggandakan kegagahan dan tabiat satria Kakang”. Ki Ageng Tingkir turut bergembira atas kelahiran putra adik seperguruannya itu. Selama tiga hari ia menunggui kelahiran bayi itu di Pengging. Sementara itu, Raden Patah mengatur siasat. Dua orang utusannya telah gagal memanggil Ki Ageng Pengging. Sekarang dia mengutus Ki Wanapala untuk memanggil Ki Ageng Pengging.

Ki Wanapala ialah bekas Mahapatih Demak Bintoro yang sudah mengundurkan diri. Kedudukannya telah digantikan anaknya sendiri. Namun ia masih sering tiba ke istana Demak jikalau diharapkan Raden Patah untuk dimintai pertimbangan.

Namun patih senior ini juga tak bisa menjinakkan sikap Ki Ageng Pengging, ia pulang dengan tangan hampa.

Ki Wanapala tak berpanjang kata. Ia segera kembali ke Demak. Melaporkan segala apa yang didengarnya. Sri Sultan sepakat atas keputusan Ki Wanapala memberi batas waktu tenggang selama tiga tahun.

Namun ketika tiga tahun lewat Ki Ageng belum menghadap ke Demak juga. Atas nasehat para Wali, maka Sri Sultan mengirim utusan ketiga. Yang ditugaskan kali ini ialah Sunan Kudus. Tugas kali ini harus tuntas. Karena Sunan Kudus yang populer mempunyai ilmu logika tinggi dan beribu ilmu kesaktian itu terpilih menangani persoalan ini. Sri Sultan tak perlu mengirim utusan keempat lagi.

Walaupun Sunan Kudus itu Panglima Perang Demak, tetapi para Wali melarangnya menggunakan baju dan seragam militernya. Sunan Kudus disarankan biar menggunakan pakian jubah putih alasannya yang dihadapinya ialah seorang santri desa.

Berangkatlah Sunan Kudus dengan iringan tujuh prajurit Demak pilihan yang juga menyamar sebagai para santri biasa.

Tiga tahun memang telah berlalu dengan cepatnya. Ki Ageng Pengging tidak pernah menghadap ke Demak. Bahkan Kadipaten Pengging yang dulu pernah mengalami kejayaan di jaman ayahnya yaitu Adipati Handayaningrat tidak diurus lagi. Kebo Kenanga, cucu Raja Majapahit itu malah karam dalam dunia kebatinan yang diajarkan oleh Syeikh Siti Jenar.

Walau sepertinya Ki Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging itu tak mengurus pemerintahan Kadipaten, tapi sesungguhnya para prajuritnya masih setia kepadanya, mereka menyembunyikan keperwiraannya di balik baju petani. Tetapi sewaktu-waktu mereka bisa digerakkan jikalau diharapkan oleh Ki Ageng Pengging.

Hal ini disadari oleh pemerintah pusat Demak Bintoro. Itu sebanya Sri Sultan menentukan Sunan Kudus untuk menggali sang pembangkang yaitu Ki Ageng Pengging ini.

Suasana Kadipaten Pengging benar-benar lengang. Pagi itu penduduk banyak yang pergi ke sawah dan ladang masing-masing. Pendapa atau istana Kadipaten tidak kelihatan. Di pusat bekas pemerintahan Adipati Handayaningrat itu kini hanya ada sebuah rumah yang tak seberapa besar. Bentuknya mirip rumah penduduk lainnya.

Sunan Kudus memerintahkan tujuh orang pengikutnya menunggu di ujung desa. Dia sendiri berjalan menuju rumah Ki Ageng Pengging. Langkahnya mantap. Dia yakin tugasnya kali ini akan membawa hasil. Seperti sudah dilambangkan oleh Bende Kyai Sima, yaitu pusaka warisan dari mertuanya yang dibunyikan di dalam hutan ketika dia kemalaman. Bila bende itu dipukul bunyinya mirip harimau maka tandanya akan berhasil, bila tidak mengeluarkan auman harimau berarti akan menemui kegagalan.

Di depan pintu rumah Ki Ageng Pengging ada seorang pelayan perempuan setengah baya. Sunan Kudus memberi salam kemudian mengutarakan maksud kedatangannya untuk menemui Ki Ageng Pengging. “Maaf tuan, sudah beberapa hari Ki Ageng mengurung diri di dalam kamarnya, dia tidak bisa menemui tamu”, kata pelayan itu. “Aku bukan tamu biasa”, kata Sunan Kudus. “Katakan saya ialah utusan Tuhan yang tiba dari Kudus. Ingin bertemu dengan Ki Ageng Pengging”. Pelayan itu masuk ke dalam rumah memberikan pesan Sunan Kudus yang dianggapnya aneh. Ternyata Ki Ageng bersedia mendapatkan tamunya.

Sunan Kudus dipersilakan masuk ke dalam rumahnya. Istri Ki Ageng Pengging membuatkan minuman untuk menghormati tamu khusus itu. Tinggallah di ruang tamu itu Ki Ageng Pengging dan Sunan Kudus.

“Wahai Ki Ageng, saya diperintah oleh Sultan Demak Bintoro. Manakah yang kau pilih. Di luar atau di dalam? Di atas atau di bawah?”, tanya Sunan Kudus. Ki Ageng Pengging menghela nafas, tiga tahun yang kemudian dia juga diberi pertanyaan serupa oleh Ki Wanasalam, patih Demak Bintoro. “jawabanku tetap sama dengan tiga tahun yang lalu”,kata Ki Ageng Pengging. “Atas-bawah, luar-dalam ialah milikku. Aku tak bisa memilihnya”.

Jawaban itu bagi Sunan Kudus ialah sangat jelas. Berarti Ki Ageng Pengging punya maksud ganda. Ingin menjadi rakyat atau bawahan Demak Bintoro sekaligus ingin menjadi penguasa Demak Bintoro. Jelasnya dia tidak mau mengakui Raden Patah sebagai raja Demak. Ini pembangkangan namanya. Kasarnya pemberontak!

Bahwa Ki Ageng Pengging itu murid Syekh Siti Jenar, gurunya itu sudah dieksekusi mati karena kesesatannya, Sunan Kudus ingin mengetahui apakah Ki Ageng Pengging masih meyakini ilmu dari Syeikh Siti Jenar itu atau sudah meninggalkannya sama sekali.

“Saya pernah mendengar bahwa Ki Ageng bisa hidup di dalam mati dan mati di dalam hidup”, kata Sunan Kudus. “Benarkah apa yang saya katakan itu? Saya ingin melihat buktinya”.

“Memang begitu!”, jawab Ki Ageng Pengging. “Kau anggap apa saja saya ini maka saya akan berdasarkan apa yang kau sangka. Kau anggap saya santri memang saya santri, kau anggap saya ini raja, memang saya keturunan raja, kau anggap saya ini rakyat memang saya rakyat, dan kau anggap saya ini Allah saya memang Allah!”

Klop sudah! Ki Ageng Pengging masih memegang teguh fatwa Syekh Siti Jenar yang berfaham Wihdatul Wujud atau berfilasafat serba Tuhan. Faham itu ialah bertentangan dengan Islam yang disiarkan para wali, sehingga Syekh Siti Jenar dieksekusi mati.

Sunan Kudus juga cerdik, dia tahu murid-murid Syekh Siti Jenar itu mempunyai ilmu-ilmu yang aneh, kadangkala mereka kebal, tak mempan senjata apapun juga. Maka Sunan Kudus bermaksud mengorek kelemahan Ki Ageng Pengging dengan jalan diplomasi.

“Seperti ratifikasi Ki Ageng, bahwa Ki Ageng sanggup mati di dalam hidup. Saya ingin melihat buktinya”. “Jadi itukah yang dikehendaki Sulatan Demak?. Baiklah, tidak ada orang mati tanpa sebab, maka kau harus membuat alasannya kematianku. Bagiku hidup dan mati tidak ada bedanya”. Ki Ageng Pengging berhenti sejenak, menatap dalam-dalam wajah Sunan Kudus. “Tapi jangan melibatkan orang lain. Cukup saya saja yang mati”. Sunan Kudus menyanggupi permintaan Ki Ageng. Ki Ageng menghela nafas panjang. “Tusuklah siku lenganku ini….!”, ujar Ki Ageng membuka titik kelemahannya. Sunan Kudus pun melakukannya. Siku Ki Ageng ditusuk dengan ujung keris, seketika matilah Ki Ageng Pengging.

Sunan Kudus kemudian keluar rumah Ki Ageng Pengging dengan langkah tenang. Disambut oleh tujuh pengikutnya di ujung desa. Mereka berjalan menuju Demak Bintoro. Sementara itu istri Ki Ageng Pengging yang hendak menghidangkan jamuan makan menjerit keras manakala melihat suaminya mati di ruang tamu. Penduduk sekitar berdatangan ke rumahnya. Setelah tahu pemimpinnya dibunuh mereka memanggil penduduk lainnya dan bahu-membahu mengejar Sunan Kudus.

200 orang bekas prajurit dan perwira dipimpin bekas Senopati Kadipaten Pengging mencabut senjata dan berteriak-teriak memanggil Sunan Kudus dari kejauhan.

Sunan Kudus berhenti. Dibunyikannya Bende Kyai Sima. Tiba-tiba muncul ribuan prajurit Demak yang berlarian ke arah timur. Orang-orang Pengging mengejar ke arah timur, padahal Sunan Kudus dan pengikutnya berada di sebelah utara. Tidak berapa usang kemudian ribuan prajurit itu lenyap. Orang Pengging kebingungan, tak tahu hars berbuat apa. Akal mereka mirip hilang.

Sunan Kudus kasihan melihat keadaan mereka, akhirnya mereka disadarkan kembali dengan pengerahan ilmunya. “Jangan turut campur urusan besar ini. Ki Ageng Pengging sudah diperingatkan selama tiga tahun. Tapi dia tetap tak mau menghadap ke Demak. Itu berarti dia sengaja hendak memberontak! Nah, kalian rakyat kecil, tak ada hubungannya dengan urusan ini. Pulanglah!”

Suara Sunan Kudus terdengar berat dan mengandung perbawa kuat. Penduduk Pengging itu mirip gres sadar dan mengerti bahwa yang mereka hadapi ialah seorang Senopati Demak Bintoro yang kondang mempunyai seribu satu macam kesaktian. Mereka tak kan bisa menghadapinya.

“Ada kiprah yang lebih penting daripada berbuat kesia-siaan ini”, kata Sunan Kudus.“Segeralah kalian urus mayat Ki Ageng. Itulah penghormatan kalian yang terakhir kepada pemimpin kalian”

Orang-orang Pengging itu tak menemukan pilihan lain. Akhirnya mereka kembali ke rumah Ki Ageng untuk menguburkan mayat pemimpin mereka. Sunan Kudus dan tujuh pengikutnya segera kembali ke Demak.

Cita-cita Ki Ageng Pengging biar anak turunannya menjadi Raja ternyata kesampaian. Anaknya yang berjulukan Keberet itu diambil anak angkat oleh Ki Ageng Tingkir dan setelah cukup umur berjulukan Jaka Tingkir. Jaka Tingkir inilah yang bakal memindahkan pusat pemerintahan Demak ke desa Pengging atau Pajang.



7. Sunan Drajad

Asal-usul

Nama orisinil Sunan Drajad ialah Raden Qosim, dia putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati dan merupakan adik dari Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang.

Raden Qosim yang sudah mewarisi ilmu ayahnya kemudian diperintah untuk berdakwah di sebelah barat Gresik yaitu tempat kosong dari ulama besar antara Tuban dan Gresik.

Raden Qosim mulai perjalanannya dengan naik bahtera dari Gresik setelah singgah di tempat Sunan Giri. Dalam perjalanan ke arah barat itu bahtera dia tiba-tiba dihantam ombak yang besar sehingga menabrak karang dan hancur. Hampir saja Raden Qosim kehilangan nyawa, tapi bila Tuhan belum menentukan maut seseorang bagaimana pun hebatnya kecelakaan niscaya dia akan selamat, demikian pula halnya dengan Raden Qosim. Secara kebetulan seekor ikan besar yaitu ikan talang tiba kepadanya. Dengan menunggang punggung ikan tersebut Raden Qosim sanggup selamat hingga ke tepi pantai.

Raden Qosim sangat bersyukur sanggup lolos dari petaka itu. Beliau juga berterima kasih kepada ikan talang yang dengan lantarannya dia selamat. (tentu maksudnya berterima kasih kepada Allah, katrena Allah telah mengirimkan ikan talang itu menjadi media pertolongan Allah kepadanya). Untuk itu dia telah berpesan kepada anak keturunannya biar jangan hingga makan daging ikan talang. Bila pesan ini dilanggar akan menimbulkan bencana, yaitu ditimpa penyakit yang tiada lagi obatnya.

Ikan talang itu membawa Raden Qosim hingga ke tepi pantai yang termasuk wilayah desa Jelag (sekarang termasuk wilayah desa Banjarwati), kecamatan Paciran. Di tempat itu Raden Qosim disambut masyarakat setempat dengan antusias, lebih-lebih setelah mereka tahu bahwa Raden Qosim ialah putra Sunan Ampel seorang Wali besar dan masih terhitung kerabat keraton Majapahit.

Di desa Jelag itu Raden Qosim mendirikan Pesantren. Karena caranya menyiarkan agama Islam yang unik maka banyaklah orang yang tiba berguru kepadanya. Setelah menetap satu tahun di desa Jelag, Raden Qosim mendapat wangsit supaya menuju ke arah selatan, kira-kira berjarak 1 kilometer, di sana dia mendirikan surau langgar untuk berdakwah.

Tiga tahun kemudian secara mantap dia mendapat petunjuk biar membangun tempat berdakwah yang strategis yaitu di tempat ketinggian yang disebut Dalem Duwur. Di bukit yang disebut Dalem Duwur itulah yang kini dibangun Museum Sunan Drajad, adapun makam Sunan Drajad terletak di sebelah barat Museum tersebut.

Raden Qosim ialah pendukung aliran putih yang dipimpin oleh Sunan Giri. Artinya, dalam berdakwah ialah pendukung aliran Putih yang dipimpin oleh Sunan Giri. Artinya, dalam berdakwah membuatkan agama Islam, dia menganut jalan lurus, jalan yang tidak berliku-liku. Agama harus diamalkan dengan lurus dan benar sesuai dengan fatwa Nabi. Tidak boleh dicampur baur dengan adat dan kepercayaan lama.

Meski demikian dia juga mempergunakan kesenian rakyat sebagai alat dakwah. Di dalam museum yang terletak di sebelah timur makamnya terdapat seperangkat bekas gamelan Jawa, hal itu memperlihatkan betapa tinggi penghargaan Sunan Drajad kepada kesenian Jawa.

Dalam catatan sejarah Wali Songo, Raden Qosim disebut sebagai seorang Wali yang hidupnya paling bersahaja, walau dalam urusan dunia dia juga sangat rajin mencari rezeki. Hal itu disebabkan sikap dia yang dermawan. Di kalangan rakyat jelata dia bersifat lemah lembut dan sering menolong mereka yang menderita.

Ajaran Sunan Drajat yang Terkenal
Di antara fatwa dia yang populer ialah sebagai berikut:
Menehono teken marang wong wuto
Menehono mangan marang wong kang luwe
Menehono busono marang wong kang wudo
Menehono ngiyup marang wong kang kudanan

Artinya kurang lebih demikian:
Berilah tongkat kepada orang yang buta
Berilah makan kepada orang yang kelaparan
Berilah pakaian kepada orang yang telanjang
Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan

Adapun maksudnya ialah sebagai berikut: Berilah petunjuk kepada orang ndeso (buta). Sejahterakalah kehidupan rakyat yang miskin (kurang makan). Ajarkanlah budi pekerti (etika) kepada orang yang tidak tahu malu atau belum punya peradaban tinggi. Berilah proteksi kepada orang-orang yang menderita atau ditimpa bencana. Ajaran ini sangat supel, siapapun sanggup mengamalkannya sesuai dengan tingkat dan kemampuan masing-masing. Bahkan pemeluk agama lainpun tidak berkeberatan untuk mengamalkannya.

Di samping populer sebagai seorang Wali yang berjiwa gemar memberi dan sosial, dia juga dikenal sebagai anggota Wali Songo yang turut serta mendukung dinasti Demak. Simbol kebesaran umat Islam pada waktu itu.

Di bidang kesenian, disamping populer sebagai andal ukir, dia juga pertama kali yang membuat Gending Pangkur. Hingga kini gending tersebut masih disukai rakyat Jawa. Sunan Drajat, demikian gelar Raden Qosim, diberikan kepada dia karena dia bertempat tinggal di sebuah bukit yang tinggi, seakan melambangkan tingkat ilmunya yang tinggi, yaitu tingkat atau derajat para ulama muqarrobin. Ulama yang dekat dengan Allah swt.



8. Sunan Muria

Asal-usul

Beliau ialah putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said. Seperti ayahnya, dalam berdakwah dia menggunakan cara halus, menyerupai mengambil ikan tidak hingga mengeruhkan airnya. Itulah cara yang ditempuh untuk menyiarkan agama Islam di sekitar Gunung Muria.

Tempat tinggal dia di gunung Muria yang salah satu puncaknya berjulukan Colo. Letaknya di sebelah utara kota Kudus. Menurut Solichin Salam, target dakwah dia ialah para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Beliaulah satu-satunya wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah untuk memberikan Islam. Dan dia pula yang membuat tembang Sinom dan Kinanti.

Sakti Mandraguna
Bahwa Sunan Muria itu ialah Wali yang sakti, kuat fisiknya sanggup dibuktikan dengan letak Padepokannya yang terletak di atas gunung. Menurut pengalaman penulis (Abu Khalid, MA) jarak antara kaki undag-undagan atau tangga dari bawah bukit hingga ke makam Sunan Muria tidak kurang dari 750 m.

Bayangkanlah, jikalau Sunan Muria dan istrinya atau dengan muridnya setiap hari harus naik turun, turun naik guna membuatkan agama Islam kepada penduduk setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang. Hal itu tidak sanggup dilakukannya tanpa adanya fisik yang kuat. Soalnya menunggang kuda tidak mungkin sanggup dilakukan untuk mencapai tempat tinggal Sunan Muria. Harus jalan kaki. Itu berarti Sunan Muria mempunyai kesaktian tinggi, demikian pula murid-muridnya.

Bukti bahwa Sunan Muria ialah guru yang sakti mandraguna sanggup ditemukan dalam kisah Perkawinan Sunan Muria dengan Dewi Roroyono. Dewi Roroyono ialah putri Sunan Ngerang, yaitu seorang ulama yang disegani masyarakat karena ketinggian ilmunya, tempat tinggalnya di Juana.

Demikian saktinya Sunan Ngerang ini sehingga Sunan Muria dan Sunan Kudus sampai-sampai berguru kepada beliau.

Pada suatu hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas usia Dewi Roroyono yang genap dua puluh tahun. Murid-muridnya diundang semua. Seperti: Sunan Muria, Sunan Kudus. Adipati Pathak Warak, Kapa dan adiknya Gentiri. Tetangga dekat juga diundang, demikian pula sanak kadang yang dari jauh.

Setelah tamu berkumpul Dewi Roroyono dan adiknya yaitu Dewi Roro Pujiwati keluar menghidangkan masakan dan miniman. Keduanya ialah dara-dara yang bagus rupawan. Terutama Dewi Roroyono yang berusia dua puluh tahun, bagaikan bunga yang sedang mekar-mekarnya.

Bagi Sunan Kudus dan Sunan Muria yang sudah berbekal ilmu agama sanggup menahan pandangan matanya sehingga tidak terseret oleh godaan setan. Tapi seorang murid Sunan Ngerang yang lain yaitu Adipati Pathak Warak memandang Dewi Roroyono dengan mata tidak berkedip melihat kecantikan gadis itu.

Sewaktu menjadi cantrik atau murid Sunan Ngerang, yaitu ketika Pathak Warak belum menjadi seorang Adipati, Roroyono masih kecil, belum nampak benar kecantikannya yang mempesona, sekarang, gadis itu benar-benar membuat Adipati Pathak Warak tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot memandangi gadis itu terus menerus.

Karena dibakar api asmara yang menggelora, Pathak Warak tidak tahan lagi. Dia menarik hati Roroyono dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas. Lebih-lebih setelah lelaki itu bertindak kurang ajar.

Tentu saja Roroyono merasa malu sekali, lebih-lebih ketika lelaki itu berlaku kurang latih dengan memegangi bagian-bagian tubuhnya yang tak pantas disentuh. Si gadis naik pitam, nampan berisi minuman yang dibawanya sengaja ditumpahkan ke pakaian sang Adipati.

Pathak Warak menyumpah-nyumpah, hatinya murka sekali diperlakukan mirip itu. Apalagi dilihatnya para tamu menertawakan kekonyolannya itu, diapun semakin malu. Hampir saja Roroyono ditamparnya kalau tidak ingat bahwa gadis itu ialah putri gurunya.

Roroyono masuk kedalam kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya karena dipermalukan oleh Pathak Warak.

Malam hari tamu-tamu dari dekat sudah pulang ke tempatnya masing-masing. Tamu dari jauh terpaksa menginap di rumah Sunan Ngerang, termasuk Pathak Warak dan Sunan Muria. Namun hingga lewat tengah malam Pathak Warak belum sanggup memejamkan matanya.

Pathak Warak kemudian bangun dari tidurnya. Mengendap-endap ke kamar Roroyono. Gadis itu disirapnya (sirap atau sirep dikenal sebagai ilmu semacam hipnotis), sehingga tak sadarkan diri, kemudian melalui genteng Pathak Warak melorot turun dan membawa lari gadis itu melalui jendela. Dewi Roroyono dibawa lari ke Mandalika, wilayah Keling atau Kediri.

Setelah Sunan Ngerang mengetahui bahwa putrinya diculik oleh Pathak Warak, maka dia berikrar siapa saja yang berhasil membawa putrinya kembali ke Ngerang akan dijodohkan dengan putrinya itu, dan bila perempuan akan dijadikan saudara Dewi Roroyono. Tak ada yang menyatakan kesanggupannya. Karena semua orang telah maklum akan kehebatan dan kekejaman Pathak Warak. Hanya Sunan Muria yang bersedia memenuhi harapan Sunan Ngerang.

“Saya akan berusaha mengambil Diajeng Roroyono dari tangan Pathak Warak”, kata Sunan Muria.

Tetapi, di tengah perjalanan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik seperguruan yang lebih dahulu pulang sebelum program syukuran berakhir. Kedua orang itu merasa heran melihat Sunan Muria berlari cepat menuju arah tempat Keling.

“Mengapa Kakang tampak tergesa-gesa?”, tanya Kapa. Sunan Muria kemudian menceritakan penculikan Dewi Roroyono yang dilakukan oleh Pathak Warak.

Kapa dan Gentiri sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara seperguruan yang lebih tua. Keduanya lantas menyatakan diri untuk membantu Sunan Muria merebut kembali Dewi Roroyono.

“Kakang sebaiknya pulang ke Padepokan Gunung Muria. Murid-murid Kakang sangat membutuhkan bimbingan. Biarlah kami yang berusaha merebut diajeng Roroyono kembali. Kalau berhasil Kakang tetap berhak mengawininya, kami hanya sekedar membantu”, demikian kata Kapa.

“Aku masih sanggup untuk merebutnya sendiri”, ujar Sunan Muria. “Itu benar, tapi membimbing orang memperdalam agama Islam juga lebih penting, percayalah pada kami. Kami niscaya sanggup merebutnya kembali”, kata Kapa ngotot.

Sunan Muria akhirnya meluluskan permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya tidak lezat menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula ia harus menengok para santri di Padepokan Gunung Muria.

Untuk merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri ternyata meminta derma seorang Wiku Lodhang Datuk di pulau Sprapat yang dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang ada tandingannya. Usaha mereka berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan ke Ngerang.

Hari berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang. Ingin mengetahui perkembangan usaha Kapa dan Gentiri. Di tengah jalan dia bertemu dengan Adipati Pathak Warak.

“Hai Pathak Warak berhenti kau!”, hardik Sunan Muria. Pathak Warak yang sedang naik kuda terpaksa berhenti, karena Sunan Muria menghadang di depannya.

“Minggir! Jangan menghalangi jalanku!”, hardik Pathak Warak. “Boleh, asal kau kembalikan Dewi Roroyono!” “Goblok ! Roroyono sudah dibawa Kapa dan Gentiri! Kini saya hendak mengejar mereka!”, umpat Pathak Warak. “Untuk apa kau mengejar mereka?” “Merebutnya kembali!”, jawab Pathak Warak dengan sengit. “Kalau begitu langkahi dulu mayatku, Roroyono telah dijodohkan denganku!” ujar Sunan Muria sambil pasang kuda-kuda.

Tanpa basa-basi Pathak Warak melompat dari punggung kuda. Dia merangsak ke arah Sunan Muria dengan jurus-jurus cakar harimau. Tapi dia, bukan tandingan putra Sunan Kalijaga yang mempunyai segudang kesaktian.

Hanya dalam beberapa kali gebrakan, Pathak Warak telah jatuh atau roboh di tanah dalam keadaan fatal. Seluruh kesaktiannya lenyap dan ia menjadi lumpuh, tak bisa untuk bangun berdiri apalagi berjalan.

Sunan Muria kemudian meneruskan perjalanan ke Juana. Kedatangannya disambut bangga oleh Sunan Ngerang. Karena Kapa dan Gentiri telah bercerita secara jujur bahwa mereka sendirilah yang memaksa mengambil alih kiprah Sunan Muria mencari Roroyono, maka Sunan Ngerang pada akhirnya menjodohkan Dewi Roroyono dengan Sunan Muria. Upacara pernikahan pun segera dilaksanakan.

Kapa dan Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah Tanah di desa Buntar. Dengan hadiah itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang hidupnya serba berkecukupan.

Sedang Sunan Muria segera memboyong istrinya ke Padepokan Gunung Muria. Mereka hidup bahagia, karena merupakan pasangan ideal.

Tidak demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono dari Keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona oleh kecantikan perempuan jelita itu. Siang malam mereka tak sanggup tidur. Wajah perempuan itu senantiasa terbayang. Namun karena perempuan itu sudah diperistri kakak seperguruannya mereka tak sanggup berbuat apa-apa lagi. Hanya penyesalan yang menghujam di dada. Mengapa dulu mereka buru-buru memperlihatkan jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa bersusah payah kini menikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka dambakan. Inilah pesan yang tersirat fatwa agama biar pria diharuskan menahan pandangan matanya dan menjaga kehormatan (kemaluan) mereka.

Andaikata Kapa dan Gentiri tidak menatap terus menerus kearah wajah dan badan Dewi Roroyono yang indah itu niscaya mereka tidak akan terpesona, dan tidak terjerat oleh Iblis yang memasang perangkap pada pandangan mata.

Kini Kapa dan Gentiri benar-benar telah dirasuki Iblis. Mereka bertekad hendak merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria. Mereka telah sepakat untuk menjadikan perempuan itu sebagai istri bersama secara bergiliran. Sungguh keji rencana mereka.

Gentiri berangkat lebih dulu ke Gunung Muria. Namun ketika ia hendak melaksanakan niatnya dipergoki oleh murid-murid Sunan Muria, sehingga terjadilah pertempuran dahsyat. Apalagi ketika Sunan Muria keluar menghadapi Gentiri, suasana menjadi semakin panas, hingga akhirnya Gentiri tewas menemui ajalnya di puncak Gunung Muria.

Kematian Gentiri cepat tersebar ke aneka macam daerah. Tapi tidak membuat surut niat Kapa. Kapa cukup cerdik. Dia tiba ke Gunung Muria secara belakang layar di malam hari. Tak seorang pun yang mengetahuinya.

Kebetulan pada ketika itu Sunan Muria dan beberapa murid pilihannya sedang bepergian ke Demak Bintoro. Kapa menyirap (sirep: dikenal sebagai ilmu sirep, semacam hipnotis) murid-murid Sunan Muria yang berilmu rendah… yang ditugaskan menjaga Dewi Roroyono. Kemudian dengan mudahnya Kapa menculik dan membawa perempuan impiannya itu ke pulau Seprapat.

Pada ketika yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro, Sunan Muria bermaksud mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang datuk di Pulau Seprapat. Ini biasa dilakukannya karena baginya bersahabat dengan pemeluk agama lain bukanlah suatu dosa. Terlebih sang Wiku itu pernah menolongnya merebut Dewi Roroyono dari Pathak Warak.

Seperti fatwa Sunan Kalijaga yang bisa hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain dalam suatu negeri. Lalu ditunjukkan susila Islam yang mulia dan agung. Bukannya berdebat ihwal perbedaan agama itu sendiri. Dengan menerapkan ajaran-ajaran susila yang mulia itu nyatanya banyak pemeluk agama lain yang pada akhirnya tertarik dan masuk Islam secara sukarela.

Ternyata, kedatangan Kapa ke Pulau Seprapat itu tidak disambut baik oleh Wiku Lodhang datuk.

“Memalukan! Benar-benar nista perbuatanmu itu! Cepat kembalikan istri kakang seperguruanmu sendiri itu!”, hardik Wiku Lodhang Datuk dengan marah.

“Bapa Guru ini bagaimana, bukankah saya ini muridmu? Mengapa tidak kau bela?”protes Kapa. “Sampai mati pun saya takkan sudi membela kebejatan budi pekerti walau pelakunya itu muridku sendiri!”.

Perdebatan antara guru dan murid itu berlangsung lama. Tanpa mereka sadari Sunan Muria sudah hingga di tempat itu. Betapa terkejutnya Sunan Muria melihat istrinya sedang tergolek di tanah dalam keadaan terikat kaki dan tangannya. Sementara Kapa dilihatnya sedang berkelahi lisan dengan gurunya yaitu Wiku Lodhang Datuk.

Begitu mengetahui kedatangan Sunan Muria, Kapa pribadi melancarkan serangan dengan jurus-jurus maut. Wiku Lodhang Datuk menjauh, melangkah menuju Dewi Roroyono untuk membebaskan dari belenggu yang dilakukan Kapa.

Bersamaan dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang mengikat badan Dewi Roroyono. Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari lisan Kapa. Ternyata, serangan dengan pengerahan aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan Muria. Mampu membalikkan serangan lawan.

Karena Kapa mempergunakan aji pamungkas yaitu puncak kesaktian yang dimilikinya maka ilmu itu akhirnya merenggut nyawanya sendiri.

“Maafkan saya tuan Wiku…”, ujar Sunan Muria agak menyesal. “Tidak mengapa. Menyesal saya telah turut memberikan ilmu kepadanya. Ternyata ilmu itu digunakan untuk jalan kejahatan”, gunam sang Wiku.

Bagaimana pun Kapa ialah muridnya, pantaslah kalau dia menguburkannya secara layak. Pada akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke Padepokan dan hidup berbahagia.



9. Sunan Gunung Jati

Asal-usul

Dalam usia masih muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir. Tapi anak muda yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke tanah Jawa berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah.

Sewaktu berada di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa ulama besar di daratan Timur Tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa ia tidak merasa kesulitan melaksanakan dakwah.

Perjuangan Sunan Gunungjati
Seringkali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunungjati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah ialah satu, tetapi yang benar ialah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran ialah seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunungjati. Sedang Fatahillah ialah seorang cowok Pasai yang dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan Gunungjati berperang melawan penjajah Portugis. Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati ialah makam dekat Sunan Gunungjati yang ada goresan pena Tubagus Pasai fathullah atau Fatahillah atau Faletehan berdasarkan pengecap orang Portugis.

Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im tiba di negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475 setelah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut bangga oleh Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di Pasambangan. Dengan alasan biar selalu dekat dengan makam gurunya. Syarifah Muda’im minta biar diijinkan tinggal di Pasambangan atau Gunungjati.

Syarifah Muda’im dan putranya yaitu Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk Kahfi membuka Pesanteren Gunungjati. Sehingga kemudian dari Syarif Hidayatullah lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunungjati. Tibalah ketika yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479, karena usianya sudah lanjut, Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi.

Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau. Meski Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran.

Syarif Hidayatullah kemudian menlanjutkan perjalanannya ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu. Kedatangan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang berjulukan Nyi Kawungten. Dari perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah dikaruniai dua orang anak yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking. Dalam membuatkan agama Islam di Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati tidak bekerja sendirian, dia sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak. Bahkan disebutkan dia juga membantu berdirinya Masjid Demak.

Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan. Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh.

Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah besarlah efek Kasultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti: Surantaka, Japura, Wanagiri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Kasultanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah efek Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri asing tiba menjalin persahabatan. Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seroang keluarga istana Cirebon kawin dengan Pembesar dari negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara Cirebon dan negeri Cina makin erat.

Bahkan Sunan Gunungjati pernah diundang ke negri Cina dan kawin dengan putri kaisar Cina yang berjulukan Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada ketika itu dari dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin erat korelasi baik antara Cirebon dengan negeri Cina. Hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.

Sesudah kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien diganti namanya menjadi Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar, ayah putri Ong Tien ini membekali putrinya dengan harta benda yang tidak sedikit. Sebagian besar barang-barang peninggalan putri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina itu hingga kini masih ada dan tersimpan di tempat yang aman. Istana dan masjid Cirebon kemudian dihiasi dan diperluas lagi dengan motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina.

Masjid Agung Sang Ciptarasa dibangun pada tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau istri Sunan Gunungjati. Dari pembangunan masjid itu melibatkan banyak pihak, diantaranya wali songo dan sejumlah tenaga andal yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan alijaga mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai lambang persatuan ummat. Selesai membangun masjid, diteruskan dengan membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam di seluruh tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.

Pada tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin meluaskan kekuasaannya ke pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu ancaman besar yang mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu Raden Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka. Tetapi usaha itu tak membuahkan hasil, persenjataan Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur mendirikan benteng yang kuat dim Malaka.

Ketika Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang pejuang dari Pasai (Malaka) berjulukan Fatahillah ikut berlayar ke Pulau Jawa. Pasai sudah tidak kondusif lagi bagi mubaligh mirip Fatahillah karena itu dia ingin membuatkan agama Islam di Tanah Jawa.

Pada tahun 1521 Sultan Demak dipegang oleh Raden Trenggana putra Raden Patah yang ketiga. Di dalam pemerintahan Sultan Trenggana inilah Fatahillah diangkat sebagai Panglima Perang yang akan ditugaskan mengusir Portugis di Sunda Kelapa.

Fatahillah yang pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka kini harus mengangkat senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya menuju Cirebon. Pasukan campuran Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda Kelapa yang sudah dijarah Portugis atas derma Pajajaran. Mengapa Pajajaran membantu Portugis? Karena Pajajaran merasa iri dan dendam pada perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas. Ketika Portugis menjanjikan bersedia membantu merebut wilayah Pajajaran yang dikuasai Cirebon maka Raja Pajajaran menyetujuinya.

Mengapa Pasukan campuran Demak-Cirebon itu tidak dipimpin oleh Sunan Gunungjati? Karena Sunan Gunungjati tahu dia harus berperang melawan kakeknya sendiri, maka diperintahkannya Fatahillah memimpin serbuan itu.

Pengalaman ialah guru yang terbaik. Dari pengalamannya bertempur di Malaka, tahulah Fatahillah titik-titik lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia sanggup memberi komando dengan sempurna dan setiap serangan Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang. Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah. Portugis kembali ke Malaka, sedang tentara Pajajaran cerai berai tak menentu arahnya.

Selanjutnya Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa pasuka Pajajaran. Usaha ini tidak menemui kesulitan karena Fatahillah dibantu oleh putra Sunan Gunungjati yang berjulukan Pangeran Sebakingking. Di kemudian hari Pangeran Sebakingking ini menjadi penguasa Banten dengan gelar Pangeran Hasanuddin. Fatahillah kemudian diangkat sebagai Adipati di Sunda Kelapa. Dan merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Fatahillah tidak sanggup tinggal lebih usang di Jayakarta, karena Gunungjati selaku Sultan Cirebon telah memanggilnya untuk meluaskan tempat Cirebon biar Islam lebih merata di Jawa Barat.

Kemenangan demi kemenangan berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan Gunungjati memanggil ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati menjodohkan Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah selaku Adipati Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke. Ketika usia Sunan Gunungjati sudah semakin tua, dia mengangkat putranya yaitu Pangeran Muhammad Arifin sebagai Sultan Cirebon kedua dengan gelar Pangeran Pasara Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon sering disebut Tubagus atau Kyai Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat sang Sultan. Sunan Gunungjati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di Gunungjati atau pesantren Pasambangan. Namun lima tahun semenjak pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad Arifin meninggal dunia mendahului ayahandanya.

Kedudukan Sultan kemudian diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar Sultan Maulana Hasanuddin, dengan kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap digunakan sebagai kasultanan tapi Sultannya hanya bergelar Adipati. Yaitu Adipati Carbon I. Adipati Carbon I ini ialah menantu Fatahillah yang diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunungjati. Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568 dalam usia 120 tahun. Bersama ibunya, Pangeran Cakrabuana dia dimakamkan di Gunung Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai Bagus Pasai. Fatahillah dimakamkan di tempat yang sama, makam kedua tokoh itu berdampingan, tanpa diperantarai apapun juga.

Legenda Sunan Gunungjati dan Putri Cina
Kurang lebi sekitar tahun 479, Sunan Gunungjati pergi ke daratan Cina dan tinggal di tempat Nan King. Di sana ia digelari dengan sebutan Maulana Insanul Kamil.

Daratan Cina semenjak usang dikenal sebagai gudangnya ilmu pengobatan, maka di sana Sunan Gunungjati juga berdakwah dengan jalan memanfaatkan ilmu pengobatan. Beliau menguasai ilmu pengobatan tradisional. Di samping itu, pada setiap gerakan fisik dari ibadah shalat bekerjsama merupakan gerakan ringan dari terapi pijat atau akupuntur –terutama bila seseorang mau mendirikan shalat dengan baik, benar lengkap dengan amalan sunnah dan tuma’ninahnya. Dengan mengajak masyarakat Cina biar tidak makan daging babi yang mengandung cacing pita, dan ulet mendirikan shalat lima waktu, makam orang yang berobat kepada Sunan Gunungjati banyak yang sembuh sehingga nama Gunungjati menjadi populer di seluruh daratan Cina.

Di negeri Naga itu Sunan Gunungjati berkenalan dengan Jenderal Cheng Ho dan sekretaris kerajaan berjulukan Ma Huan, serta Feis Hsin, ketiga orang ini sudah masuk Islam.

Pada suatu ketika Gunungjati berkunjung ke hadapan Kaisar Hong Gie, pengganti Kaisar Yung Lo dari dinasti Ming. Dalam kunjungan itu Sunan Gunungjati berkenalan dengan putri Kaisar yang berjulukan Ong Tien.

Menurut versi lain yang mirip sebuah legenda, bekerjsama kedatangan Sunan Gunungjati di negeri Cina ialah karena tidak sengaja. Pada suatu malam, dia hendak melaksanakan shalat Tahajud. Beliau hendak shalat di rumah tapi tidak bisa khusyu’. Beliau heran, padahal bagi para wali, sahalat tahajud itu ialah kewajiban yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Kemudian Sunan Gunungjati shalat di atas bahtera yang ditambatkan di tepi pantai Cirebon. Di sana dia sanggup shalat dengan khusyu’. Bahkan sanggup tidur dengan nyenyak setelah shalat dan berdoa.

Ketika dia terbangun, dia merasa kaget. Daratan pulau Jawa tidak nampak lagi. Tanpa sepengetahuannya dia telah dihanyutkan ombak hingga hingga ke negeri Cina.

Di negeri Cina dia membuka praktik pengobatan. Penduduk Cina yang berobat disuruhnya melaksanakan shalat. Setelah mengerjakan shalat mereka sembuh. Makin hari namanya makinterkenal, dia dianggap sebagai shinse atau tabib sakti yang berkepandaian tinggi.

Kabar adanya tabib asing yang berkepandaian tinggi terdengar oleh Kaisar. Sunan Gunungjati dipanggil ke istana. Kaisar Cina hendak menguji kepandaian Sunan Gunungjati. Sebagai seorang tabib dia niscaya sanggup mengetahui nama seorang yang hamil muda atau belum hamil.

Dua orang Kaisar disuruh maju. Sedang yang seorang lagi masih perawan namun perutnya diganjal dengan bantal sehingga nampak mirip orang hamil. Sementara yang benar-benar hamil perutnya masih kelihatan kecil sehingga nampak mirip orang yang belum hamil.

“Hai tabib! Mana di antara puteriku yang hamil?” tanya Kaisar. Sunan Gunungjati membisu sejenak, ia berdoa kepada Tuhan. “Hai orang asing mengapa kau diam? Cepat kau jawab!”, hardik Kaisar Cina.

“Dia!” jawab Sunan Gunungjati sembari menunjuk putri Ong Tien yang masih perawan. Kaisar tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban itu. Demikian pula seluruh menteri dan semua orang yang ada di balairung istana Kaisar. Namu tiba-tiba tawa mereka terhenti, karena putri Ong Tien menjerit keras sembari memegangi perutnya. “Ada apa anakku?” tanya Kaisar. “Ayah! Saya benar-benar hamil!”

Maka gemparlah seisi istana. Ternyata bantal yang di perut Puteri Ong Tien telah lenyap entah kemana. Sementara perut putri yang bagus itu benar-benar membesar mirip orang hamil.

Kaisar munjadi murka. Sunan Gunungjati diusir dari daratan Cina. Sunan Gunungjati menurut. Hari itu juga ia pamit pulang ke Pulau Jawa. Namun Puteri Ong Tien ternyata terlanjur jatuh cinta kepada Sunan Gunungjati maka dia minta kepada ayahnya biar diperbolehkan menyusul Sunan Gunungjati ke Pulau Jawa.

Kaisar Hong Gie akhirnya mengijinkan puterinya menyusul Sunan Gunungjati ke Pulau Jawa. Puteri Ong Tien dibekali harta benda dn barang-barang berharga lainnya mirip bokor, guci emas, dan permata. Puteri bagus itu dikawal oleh tiga orang pembesar kerajaan yaitu Pai Li Bang seorang menteri negara, Lie Guan Chang dan Lie Guan Hien. Pai Li Bang ialah salah seorang murid Sunan Gunugjati tatkala dia berdakwah di negeri Cina.

Dalam pelayaran ke Pulau Jawa, mereka singgah di Kadipaten Sriwijaya. Begitu mereka tiba para penduduk menyambutnya dengan meriah sekali. Mereka merasa heran.

“Ada apa ini?” Pai Li Bang bertanya kepada tetua masyarakat Sriwijaya. Tetua masyarakat balik bertanya,”Siapa yang berjulukan Pai Li Bang?” “Saya sendiri”, jawab Pai Li Bang. Kontan Pai Li Bang digotong penduduk di atas tandu. Dielu-elukan sebagai pemimpin besar. Dia dibawa ke istana Kadipaten Sriwijaya. Setelah duduk di kursi Adipati, Pai Li Bang bertanya,”Sebenarnya apa yang telah terjadi?” Tetua masyarakat itu menernagkan,”Bahwa Adipati Ario Damar selaku pemegang kekuasaan Sriwijaya telah meninggal dunia. Penduduk merasa gundah mencari penggantinya, karena putera Ario Damar sudah menetap di Pulau Jawa. Yaitu Raden Fatah dan Raden Hasan.

Dalam kebingungan itu muncullah Sunan Gunungjati, dia berpesan bahwa sebentar lagi akan tiba rombongan muridnya dari negeri Cina, namanya Pai Li Bang. Muridnya itulah yang pantas menjadi pengganti Ario Damar. Sebab muridnya itu ialah seorang menteri negara di negeri Cina.

Setelah berpesan demikian Sunan Gunungjati meneruskan pelayarannya ke Pulau Jawa. Pai Li Bang memang muridnya. Dia semakin kagum kepada gurunya yang ternyata mengetahui sebelum kejadian, tahu kalau dia bakal menyusul ke Pulau Jawa. Pai Li Bang tidak menolak kleinginan gurunya, dia bersedia menjadi Adipati Sriwijaya. Dalam pemerintahannya Sriwijaya maju pesat sebagai kadipaten yang paling makmur dan aman. Setelah Pai Li Bang meninggal dunia maka nama kadipaten Sriwijaya diganti dengan nama kadipaten Pai Li Bang. Dalam perkembangannya karena proses pengucapan pengecap orang Sriwijaya maka usang kelamaan kadipaten itu lebih dikenal dengan sebutan Palembang hingga sekarang.

Sementara itu Puteri Ong Tien meneruskan pelayarannya hingga ke Pulau Jawa. Sampai di Cirebon dia mencari Sunan Gunungjati. Tapi Sunan Gunungjati sedang berada di Luragung. Puteri itu pun menyusulnya. Pernikahan antara Puteri Ong Tien dengan Sunan Gunungjati terjadi pada tahun 1481, tapi sayang pada tahun 1485 Puteri Ong Tien meninggal dunia. Maka jikalau anda berkunjung ke makam Sunan Gunungjati di Cirebon janganlah anda merasa heran, di sana banyak ornamen Cina dan nuansa-nuansa Cina lainnya. Memang ornamen dan barang-barang antik itu berasal dari Cina.


Posting Komentar untuk "Walisongo Sejarah Lengkap"