Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kajian Belakang Layar Hari


Kajian kali ini akan membahas wacana belakang layar hari. Tentu saja kajian ini yang akan dibahas yakni yang berkaitan dengan bidang yang kita geluti yaitu ilmu hikmah. Bukan dikaji secara mendetail dari sisi ilmiah (sains). Walaupun tetap menggunakan dasar ilmu alam (sains).

Dengan mempelajari “Kajian Rahasia Hari” kita akan mengetahui rahasia-rahasia dibalik pemakaian hari dalam sebuah ritual amalan ilmu hikmah. Khususnya Aji mantra Jawa, lantaran latar belakang pengetahuan saya yakni gaib budaya Jawa. Bahkan dengan dasar kajian ini sanggup hingga digunakan untuk mengenali tabiat seseorang menurut hari kelahirannya.

Mungkin pernah terbesit rasa ingin tahu dalam benak anda: mengapa amalan ilmu A dimulai hari Senin, Amalan ilmu B diawali hari Selasa dan lain sebagainya.

Penentuan hari dalam suatu ritual atau amalan ilmu mempunyai dasar alasan. Para leluhur dan pinisepuh ilmu kebatinan tidaklah sembarangan dalam memberi tuntunan ilmu. Walaupun terkadang sulit diterima nalar, tetapi setidaknya selalu mempunyai dasar alasan.

Seperti yang pernah saya katakan dalam artikel “Rahasia di balik Rahasia”. Bahwa: Tak semua Guru paham, tak semua murid mengerti, tak semua pengamal ilmu tahu. Hanya mereka yang senantiasa mengikuti petunjuk Maha Guru, memurnikan tuntunan ilmunya tanpa dicampuri angan dan harapan (merubah-ubah) yang akan mengerti Rahasia dibalik tuntunan ilmu. Diantaranya yakni “Rahasia Hari”



Pergerakan Alam

Dalam pandangan andal ilmu pesan tersirat setiap fenomena alam mempunyai belakang layar dan akan mencerminkan tabiat (karakter) tersendiri. Termasuk fenomena perubahan “hari” dalam sistem penanggalan. Mengapa sanggup demikian? Dikarenakan gerakan bumi tidak pernah berhenti, maka setiap detik posisinya berubah. Untuk kembali pada posisi yang sama, membutuhkan siklus waktu tertentu. Sirklus jam, sirklus hari, bulan, tahun, pasaran (Legi, Pon dsb), Wuku dan lain sebagainya. Pada pada dasarnya setiap siklus berafiliasi dengan posisi orbit bumi.

Dengan latar belakang tersebut, maka kelahiran insan dan insiden di alam semesta ini (misalnya musim) dengan sendirinya akan menempati salah satu siklus diantara siklus-siklus yang ada. Misalnya insan yang dilahirkan pada hari Senin, akan masuk ke dalam siklus Senin yang telah dihuni oleh banyak orang sebelumnya, yang lahir pada hari yang sama. Oleh lantaran itu secara umum mereka menjadi satu wadah yang berjulukan siklus. Maka menurut ‘Ilmu Titen’ atau ilmu hasil dari mengenali / mengamati dan terus berlangsung turun-temurun, tabiat seseorang atau pergerakan alam secara garis besar sanggup dikenali bahkan diprediksi.



Sirklus Jam


Hari dalam bahasa Jawa disebut “dina” (dino). Sebagaimana telah kita ketahui bahwa satu hari yakni sebuah unit waktu yang dibutuhkan bumi untuk berotasi (berputar) pada porosnya sendiri. Unit waktu ini sanggup berupa detik, menit ataupun jam. Jaman kini 1 hari = 24 jam, atau jikalau dihitung dalam menit, 1 hari = 1440 menit. Jika dihitung dalam detik, 1 hari = 86400 detik.

Jadi Bumi membutuhkan waktu 24 jam untuk sekali berputar pada porosnya. Akibat rotasi ini terjadilah fenomena siang dan malam. Dimana potongan sisi bumi yang menghadap Matahari mengalami masa Siang (terang), sedangkan potongan sisi bumi yang membelakangi Matahari mengalami masa Malam (gelap).

Jutaan tahun yang kemudian 1 hari tidak berlangsung usang menyerupai kini ini (24 jam) mungkin hanya 18 jam saja. Penyebabnya lantaran Rotasi bumi ketika itu berlangsung lebih cepat. Sebab jarak Bulan (Moon) dengan Bumi lebih bersahabat daripada jarak sekarang. Begitu pula sebaliknya, dimasa yang akan tiba (jutaan tahun lagi) 1 hari sanggup berlangsung semakin lama, hingga 30 jam. Sebab jarak Bumi dan Bulan semakin menjauh, kesannya bumi berrotasi lebih lambat. Setiap fenomena alam yang terjadi akan membawa dampak imbas bagi penghuni alam khususnya manusia.



Sirklus Tujuh Hari = seminggu

Mencari tahu asal muasal “1 minggu = 7 hari” tidaklah mudah. Cukup sulit mencari kebenaran teori dibalik penentuan “1 minggu = 7 hari”. Banyak teori yang berbeda-beda bahkan saling berseberangan. Ada yang berdasar pedoman agama (kitab suci), Mitos Dewa-dewa penguasa 7 planet, praktek perhitungan geometri primitif dan lain sebagainya.

Tetapi perlu diketahui bahwa tidak semua bangsa meyakini “1 minggu” terdiri dari 7 hari. Misalnya, orang Mesir kuno menggunakan hitungan 1 minggu = 10 hari. Kalender Maya menggunakan 13 dan 20 hari dalam seminggu. Orang Lithuania menggunakan 9 hari dalam seminggu, dan lain sebagainya. Lalu bagaimana dengan siklus hari dalam budaya Jawa?

Sirklus Hari dalam penanggalan Jawa.

Sedangkan dalam budaya Jawa, sistem sirklus hari ada bermacam-macam. Sebenarnya jaman dahulu orang Jawa kuno mengenal 10 jenis minggu. Dari seminggu yang jumlahnya hanya satu hari, hingga Seminggu yang jumlah harinya terdapat 10 hari. Nama macam-macam minggu tersebut yakni Ekawara, Dwiwara, Triwara, Caturwara, Pancawara, Sadwara, Saptawara, Hastawara, Nawawara dan Dasawara.

Untuk lebih jelasnya perhatikan perumusan tata penanggalan Jawa sebagai berikut :
Perhitungan hari dengan siklus 5 harian disebut sebagai Pancawara – Pasaran. (Artinya dalam 1 minggu (Pancawara) hanya ada 5 hari)
Perhitungan hari dengan siklus 6 harian disebut Sadwara – Paringkelan.
Perhitungan hari dengan siklus 7 harian disebut Saptawara – Padinan.
Perhitungan hari dengan siklus 8 harian disebut Hastawara – Padewan
Perhitungan hari dengan siklus 9 harian disebut Sangawara – Padangon
Perhitungan hari dengan siklus mingguan (7 hari) terdiri 30 minggu disebut Wuku.

Namun jaman kini yang biasa digunakan hanya 2 jenis minggu saja, yaitu Pancawara (pasaran) dan Saptawara (Padinan). Misalnya Senin Legi, Selasa Pahing dan seterusnya. Perubahan penanggalan Jawa ini terjadi masa pemerintahan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusumo di Kerajaan Mataram Islam Jawa Tengah. Saptawara digunakan lantaran dinilai universal (sirklus 7 hari). Sedangkan Pancawara tetap digunakan lantaran melambangkan jati diri insan Jawa yang berbudaya.

Dalam kajian kali ini kita hanya akan membahas Perhitungan hari dengan siklus 7 hari. Atau dalam bahasa Jawa disebut Saptawara (Padinan) dan Sirklus 5 hari (Pancawara).

Dalam kitab Primbon, dijelaskan orang Jawa percaya bahwa hitungan 7 hari dalam seminggu bermula ketika Tuhan membuat alam semesta ini dalam 7 tahap. Dimana tahap pertama diawali hari Ahad (Minggu).
Pertama, Ketika Tuhan mempunyai kehendak ingin membuat dunia. Kehendak Tuhan ini kemudian disimbolkan dengan MATAHARI yang bersinar sebagai sumber kehidupan.
Kedua, ketika Tuhan menurunkan kekuatanNYA untuk membuat dunia. Kekuatan Tuhan itu kemudian disimbolkan dengan BULAN yang bercahaya tanpa menyilaukan.
Ketiga, Ketika kekuatan Tuhan tadi mulai membuatkan percik-percik sinar Tuhan. Percik sinar Tuhan itu kemudian disimbolkan dengan API yang berpijar.
Keempat, Ketika Tuhan membuat dimensi ruang untuk wadah alam semesta. Dimensi ruang itu kemudian disimbolkan dengan BUMI menjadi daerah makhluk hidup.
Kelima, Ketika tuhan membuat panas yang menyalakan kehidupan. Panas yang menyala itu kemudian disimbongkan dengan ANGIN yang bergerak dan petir yang menyambar.
Keenam, Ketika tuhan membuat air yang dingin. Air yang hirau taacuh itu kemudian disimbolkan dengan BINTANG yang menyerupai titik-titik air yang menyejukan.
Ketujuh, Ketika Tuhan membuat unsur materi bergairah sebagai dasar pembentuk kehidupan. Materi bergairah itu kemudian disimbolkan dengan AIR sebagai sumber kehidupan.

Perlu dipahami bahwa penyebutan elemen (anasir) ini hanyalah sebagai simbol. Bukan merupakan urutan insiden alam semesta itu sendiri. Simbol inilah yang nantinya digunakan dalam mengenali tabiat (karakter) hari.

Arti Nama Hari

Dalam penyebutan nama-nama hari disetiap bangsa juga mempunyai perbedaan. Dan tentu saja mempunyai makna dan alasan tersendiri. Sedangkan nama hari dalam penanggalan Jawa semenjak masa pemerintahan Kanjeng Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma di Kerajaan Mataram Islam menggunakan istilah Arab yang sudah dilafalkan dalam pengecap Jawa. Sebelumnya nama hari masih menggunakan istilah Jawa kuno yaitu :

Nama Hari Siklus 7 hari, Saptawara = Padinan:
Radite = Akad
Soma = Senen
Anggara = Slasa
Budha= Rebo
Respati = Kemis
Sukra = Jemuwah
Tumpak/Saniscara = Setu



Asal kata dan Arti nama Hari (Padinan)
Akad (minggu), berasal dari kata Arab “ahad”, yang berarti hari pertama.
Senen (Senin), berasal dari kata Arab “istnain”, yang berarti hari kedua.
Slasa (Selasa), berasal dari kata Arab “tsalatsah”, yang berarti hari ketiga.
Rebo (Rabu), berasal dari kata Arab “arba’ah”, yang berarti hari keempat.
Kemis (Kamis), berasal dari kata Arab “khamsah”, yang berarti hari kelima,
Jemuwah (Jum’at), berasal dari kata Arab “jumu’ah”, yang berarti hari untuk berkumpul,
Setu (Sabtu), berasal dari kata Arab “sab’ah” (sabat), yang berarti hari ketujuh.

Jelas bahwa nama-nama hari yang hingga kini digunakan itu (Senin, Selasa dst) merupakan perpaduan peradaban Islam dan kebudayaan Jawa. Dipakai semenjak pergantian Kalender Jawa orisinil (Tahun SAKA) menjadi kalender Jawa Sultan Agung (Anno Javanico – Tahun AJ). Pergantian kalender itu mulai 1 Sura, tahun Alip 1555. Yang jatuh pada tanggal 1 Muharam 1042. Atau bertepatan dengan kalender Masehi 8 Juli 1633. Angka tahun AJ itu meneruskan angka tahun Saka yang waktu itu hingga tahun 1554, semenjak itu tahun Saka tidak digunakan lagi di Jawa, tetapi hingga kini masih digunakan di Bali.

Tahun Jawa dan tahun Islam (hijriyah) yakni penanggalan Qomariyah atau sistem Lunar (bulan) yang mengikuti peredaran bulan kepada bumi. Maka perhitungan hari pun dimulai pada senja hari, dikala awal munculnya rembulan malam atau dikala Maghrib.

Sedangkan tahun Masehi dan tahun Saka Hindu yakni penanggalan Syamsiyah atau sistem solar (Matahari) yang mengikuti peredaran bumi terhadap Matahari. Pergantian hari dalam penanggalan Masehi yang dimulai pada pukul 12 malam.

Untuk diketahui, dalam amalan ilmu-ilmu Rasa Sejati ini juga menggunakan penanggalan Jawa & Islam yaitu menggunakan sistem Lunar (bulan), perhitungan hari dimulai dikala Maghrib.


Posting Komentar untuk "Kajian Belakang Layar Hari"